situasi dunia sekarang ini.

Selasa, 15 Juni 2010 11.19 Diposting oleh poletariati 0 komentar
MENGENAL SITUASI OBJEKTIF


Berikut mengenai pemaparan situasi objektif, yang mengacu kepada kesimpulan diskusi komisi ideology, mencoba memeriksa situasi internasional sekarang, terutama krisis kapitalisme global, dan hubungannya dengan perkembangan capital di dalam negeri. Disamping itu, bagian ini juga memeriksa soal hubungan krisis dengan ideology (struktur kesadaran) masyarakat, bagaimana perang system demokrasi liberal, media massa, dan konsumerisme dalam menghancurkan ideology perjuangan rakyat. Kami juga memaparkan sedikit mengenai perimbangan kekuatan di dalam negeri, khususnya pertentangan antara dua proyek nasional yang berbeda: neoliberalisme dan Anti-neoliberalisme.

Kondisi dunia sekarang ini

1. Perubahan mendasar:

A. Unipolarisme Menjadi Multipolarisme;

1.1. Dunia sedang mengalami perubahan penting yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Hu Jintao, pemimpin China dan sekaligus sekjend Partai Komunis China. Dunia unipolar, yang dikomandoi oleh AS dan pendukung setianya, mulai tenggelam. Serangkaian peristiwa kompleks---politik, ekonomi, sosial, dan budaya- telah menggiring dunia untuk berevolusi menuju tatanan baru—multipolarisme.
1.2. Ada beberapa perubahan penting yang perlu dicatat; (1) perkembangan teknologi dan sistim informasi yang berpengaruh terhadap sifat dan proses produksi, (2) peran media massa yang semakin dominan dan tak terkendali, terutama dalam menggenggam kesadaran rakyat, (3) krisis besar kapitalisme pada September 2008 dan pengaruhnya secara struktural terhadap sistem kapitalisme, (4) kemunculan pengelompokan-pengelompokan baru dalam geopolitik global; AS-poros setan (AS-Inggris-Israel), Uni Eropa, BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China), blok progressif (pemerintahan kiri Amlat dan ALBA), (5) pemberontakan global melawan neoliberalisme.

1. Dunia Unipolar

1.1. Dunia unipolar, baik secara militer, ekonomi, politik, menunjukkan AS sebagai imperium tunggal di bumi ini. Melalui pembangunan kekuatan militer, pangkalan militer AS terbangun di 700 hingga 800 basis militer di 63 negara di dunia, serta menempatkan 325 ribu pasukannya di berbagai negara .
1.2. Dominasi militer ini, bagaimanapun, memungkinkan AS mengontrol pemerintahan 191 negara di dunia. Bersamaan dengan proses itu, AS bisa mengontrol; (1) ekonomi dunia dan pasar finansial, (2) mengusai sumber daya alam (sumber daya utama dan sumber daya tak terbaharui).
1.3. Di bidang ekonomi, AS berhasil menempatkan mata uang mereka, dollar AS, sebagai penguasa tunggal (unipolar) dalam sistem pertukaran mata uang dunia. Bank sentral AS, The Fed, mengontrol seluruh bank sentral negara-negara lain di seluruh dunia.
1.4. Di bidang sosial-budaya, pengaruh media dan propaganda AS berhasil menciptakan, apa yang disebut oleh Chomksy, sebagai amerikanisme seluruh budaya dunia.

2. Pergeseran ke Multipolar

1.5. Dalam bukunya The New Asia Hemisphere, Kishore Mahbubani, seorang pengamat politik luar negeri India menyimpulkan bahwa Asia sedang mengalami kebangkitan, dan pusat kebangkitan itu berada di Asia Timur, yaitu China.
1.6. Terkait persaingan hegemonik antara China dan AS, Laurence J. Brahm telah menulis buku berjudul “Zhu Rongji and Transformation of Modern China” (2002), menjelaskan bagaimana AS berupaya menekan China supaya menjalankan Washintong Consensus, seperti yang pernah dipaksakan terhadap Korea dan Thailand, dan ternyata China menolak. Ada banyak orang menilai bahwa ini akhir dari hegemoni tak tertandingi AS, dan China telah mengutamakan kepentingan nasionalnya.
1.7. Keberhasilan China membangun hubungan baik dengan Rusia dan Negara bekas uni-sovyet, Negara-negara penghasil energy di dunia, telah memungkinkannya untuk mengontrol akses terhadap energy. Kemudian, AS setelah kehilangan semua itu, berusaha menyandarkan harapannya ke Afrika. Namun, kini, Afrika telah didekati China dan telah terbangun sejumlah kesepakatan kerjasama. Ini membuat AS sangat marah dan berbuat keras untuk menekan Pan-Afrika, supaya tunduk kepada AS.
1.8. Terjadi penurunan posisi hegemonik AS; kenyataan dan batasannya?
1.8.1. Di akhir pemerintahan Bush, kita mendapati posisi hegemonik AS benar-benar merosot, baik secara internasional maupun di kalangan warganya sendiri. Ini coba diperbaiki dengan kehadiran Obama, warga kulit hitam yang dianggap menangkap warna dan harapan baru masyarakat AS dan dunia. Penurunan posisi hegemonik ini begitu nampak setelah krisis, namun, sebetulnya, ini sudah terjadi jauh sebelumnya. Ini ditandai dengan penurunan kapasitas industri AS dan peningkatan utang yang drastis. Namun ada beberapa catatan penting:
a. Dalam politik-militer, AS memang masih mempertahankan posisi hegemoniknya, kendati ekpansi mereka gagal di Irak dan Afghanistan. Namun, di beberapa tempat di dunia, intervensi militer AS masih terus berlanjut, seperti kejadian terbaru di Honduras, pendirian pangkalan di Kolombia, dsb.
b. Dalam front ekonomi, posisi pasar AS masih menduduki tempat signifikan di dunia, yakni sebesar 25%, meskipun terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
c. Dalam sektor keuangan dan moneter, mata uang dollar masih menjadi sistem uang tunggal dalam pertukaran, meskipun sudah mendapat penentangan dari beberapa negara, seperti usul penggunaan emas sebagai nilai ukur nilai tukar.

1.8.2. Kehadiran China dan BRIC
a. Ekonomi china terus bertumbuh dan melaju ibarat kereta api MagLev, kereta api tercepat di dunia. Meskipun krisis, ekonomi China tahun ini diprediksi tumbuh sebesar 8%, sementar AS diprediksi hanya 2,5%. IMF, lembaga yang dikomandoi AS, memprediksi ekonomi China akan terus tumbuh dua digit pertahun (setara dengan 50% pertumbuhan ekonomi dunia). Di sektor industri, produk industri China kini mulai merajalela dan menerobos pasar dunia, antara lain, ponsel China sudah kuasai separuh pasar ponsel dunia.
b. Pada tahun 2021, bertepatan dengan peringatan 100 tahun partai komunis China, pemerintah sudah menyakini akan mensejahterakan penduduknya yang berjumlah milyaran itu, dan menegaskan bahwa mereka akan mencapai sosialisme sepenuhnya pada tahun 2049.
c. sebagian besar ekonom sudah memprediksikan bahwa ekonomi China akan segera melampaui Amerika pada tahun 2049, dan pertumbuhan ekonomi ini akan mempengaruhi perkembangan dunia secara signifikan.
d. India dan Brazil juga menunjukkan perkembangan serupa, sementara Rusia agak sedikit melambat karena kontraksi ekonomi Eropa. Sementara dalam ukuran 40 tahun ke depan, menurut prediksi sejumlah ekonom, China akan menjadi pusat industri manufaktur global, sehingga, untuk itu, mereka sudah mengamankan pasokan energi dan sumber daya global dunia.

1.8.3. Kemenangan Partai Demokratik Jepang (DPJ) dan Manuver Yukio Hatoyama:

a. Kemenangan DJP atas partai liberal (LDP), partai yang sudah berkuasa di Jepang selama 50 tahun terakhir, memiliki arti penting terhadap geopolitik global. Yukio Hatoyama telah berjanji untuk mendefenisikan ulang hubungan Jepang dengan apa yang disebutkan Hatoyama sebagai “globalisasi yang dikomandoi AS”. Hatoyama berjanji untuk mengusir globalisasi AS itu, mengakhiri fundamentalisme pasar, dan memerangi kerakusan sektor financial.
b. Setelah memutus hubungan dengan globalisasi AS, Hatoyama menganjurkan untuk sebuah integrasi regional dalam sebuah blok Asia Timur dan Asia Tenggara (ASEAN).
c. Dalam melihat pertarungan AS versus China, Hatoyama telah menyatakan komitmen untuk membangun blok anti-AS.

1.8.4. Dinamika Dunia multipolar
a. Salah satu kekuatan baru dunia saat ini, China, terlepas dari berbagai tuduhan buruk terhadapnya, negara ini terlihat lebih sukses dibanding negara manapun di dunia dalam melewati krisis dan resesi ekonomi global. Dengan kepemilikan negara terhadap sektor ekonomi, baik industri maupun perbankan, China berhasil menggunakan investasi besar-besaran untuk sektor produktif, khususnya program stimulus yang diarahkan ke pedesaan.
b. Dalam beberapa tahun terakhir, investasi dan produk industri China sudah menyebar ke berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Eropa. Di bidang investasi, China mencoba membujuk sejumlah negara dan kawasan yang “dianak-tirikan” oleh AS, khususnya Amerika latin, Afrika, Rusia, dan Indo-China (Birma, Laos, dan Kamboja). Dalam pasar dunia, produk China juga berhasil menembus Eropa dan menyingkirkan produk-produk setempat, hingga akhirnya mereka membuat keputusan sepihak untuk membatasi “ekspansi” produk China.
c. Kemunculan ALBA, kendati masih merangkul sebagian dari negeri di kawasan Amlat, namun karakter dan progresivitasnya bisa menjadi daya tarik bagi negeri-negeri lain untuk bergabung atau menjadikannya “percontohan” soal kerjasama (integrasi) regional di luar skenario Free Trade Area.
d. Sementara Rusia, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan perang terselubung dengan AS dalam mengusai sumber daya hidro-karbon, khususnya gas alam, sumber energi penting untuk abad 21 ini. Dan beberapa bulan lalu, Chavez telah mengundang kapal perang Rusia berlabuh di kawasan Karibia.
e. Sementara Afrika, dalam pertemuan iklim di Copenhagen bulan lalu, telah memperlihatkan perlawanan keras terhadap proposal irasional negeri-negeri imperialis. Negeri-negeri Afrika membangun Pan-African Climate Justice Alliance, dan membangun barisan yang sama dengan negeri-negeri progressif dari ALBA- Venezuela, Bolivia, dan Cuba.
f. Sebetulnya, negara-negara yang kita sebutkan di bagian atas, sedikit banyaknya adalah pernah dipengaruhi oleh deklarasi Bandung—Konferensi Asia Afrika 1955. Jadi, kalau ada usaha serius untuk merangkum mereka kembali dalam semangat “deklarasi Bandung”, maka lebih dari separuh penduduk dunia akan lepas kontrol dari AS dan Eropa.

B. Perkembangan teknologi dan sistim informasi

1.9. Setelah revolusi Industri, yang menandai revolusi mendasar dalam teknik produksi, saat ini dunia sudah memasuki revolusi tahap lanjut, revolusi teknologi komunikasi. Beberapa saat lalu, suara, gambar, dan teks masih merupakan hal terpisah, pencapaian paling majunya adalah menempatkan salah satu ke sisi yang lain. Hari ini, dengan teknologi digital, untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia bentuk-bentuk berbeda dari informasi—suara, teks, data, gambar—bisa digabungkan menjadi satu produk, yang kemudian disebut “multi-media”.
1.10. Di lapangan lain, perkembangan media komunikasi massa menimbulkan pengaruh besar dalam kehidupan manusia. kehadiran satelit, serat optic, TV kabel, seluler, telah merevolusionerkan cara berkomunikasi dan mampu menjebol penghalang-penghalang bagi manusia dimana saja untuk berkomunikasi.
1.11. Di Indonesia, jaringan TV kabel dan sejenisnya, sudah menyerbu sampai ke pedesaan, mengubah masyarakat kita menjadi homogen dalam trend dan mode, khusunya remaja. TV berantena wajan penggorengan (parabola), hasil temuan Onno Purbo, seorang IT progressif dari ITB, memudahkan masyarakat untuk menangkap banyak siaran TV dan gelombang radio.
1.12. Hotspot dengan teknologi Wi-fi (internet memakai gelombang radio, nirkabel), juga hasil temua Onno Purbo, berhasil memassalkan internet ke masyarakat Indonesia—cafĂ©, warung kopi, kampus, tempat wisata, hingga rumah-rumah. Hampir semua penduduk Indonesia juga sudah memegang ponsel, dan memungkinkan mereka bisa berkomunikasi dan mengakses internet.
1.13. Televisi juga membawa pengaruh besar dalam revolusi komunikasi, sebab sanggup menguasai dan menciptakan loyalitas bagi pemirsanya.

C. Internasionalisasi Produksi dan Kapitalisme Tingkat Tinggi (Imperialisme)

1.14. Pada Desember 1995, Vladimir Lenin, dalam pengantar tentang imperialisme tahap tertinggi dari kapitalisme mengatakan, “Ini sangat penting untuk diingat, bahwa perubahan ini disebabkan oleh kesinambungan pembangunan langsung, pertumbuhan, dan kelanjutan dari kecenderungan kapitalisme dan produksi komoditas. Pertumbuhan pertukaran komoditas, pertumbuhan produksi skala besar adalah kecenderungan mendasar yang teramati selama berabad-abad di seluruh dunia. Pada tahap tertentu dalam perkembangan pertukaran, dalam pertumbuhan produksi skala besar, yaitu, pada tahap yang mencapai sekitar pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, pertukaran komoditi telah menciptakan seperti internasionalisasi hubungan ekonomi, dan seperti internasionalisasi modal, disertai dengan peningkatan yang begitu luas dalam produksi skala besar, bahwa persaingan bebas mulai digantikan oleh monopoli. Beberapa pengusaha tumbang karena persaingan bebas di dalam negeri dan interkoneksi antar negara, tetapi juga aliansi monopolis pengusaha, trust. Tipikal penguasa dunia diserahkan pada kapital finansial, sebuah kekuatan yang mobile dan fleksibel, terkoneksi ditempat kita dan secara internasional, tanpa individu dan pemisahan dari produksi, secara mudah terkonsentrasi, sebuah kekuatan yang membuat langkah besar dalam konsentrasi modal, sehingga nasib milyaran manusia di Bumi ditentukan di telapak tangan segelintir pengusaha.”
1.15. Kapitalisme berarti membuat keuntungan (profit). Itu berarti perluasan produksi ke berbagai belahan dunia dan ekstensifikasi produksi, apapun bisa diubah menjadi komoditi. Akan selalu mengglobal, mencari tempat baru, peluang baru, sehingga, dari lahirnya, kapitalisme merupakan model produksi yang terus meluas dan mengglobal. Seperti pernah dikatakan Karl Marx, “kapital tidak lain adalah nilai yang terus menerus memperluas dirinya.”
1.16. Sejak tahun 1990, dunia sudah begitu berubah dan sangat mencolok dibandingkan dengan imperialisme klasik 1870-1945. Kita menghadapi perkembangan kapitalisme pada konsentrasi produksi secara internasional dan perkembangan dominasi (hegemoni) kapital keuangan-finansialisasi modal.
1.17. Sebelum 1920, pengelolaan perusahaan terkonsentrasi pada segelintir tangan—disebut tycoon/konglomerat—yang mengelola produksi, mengamankan bahan mentah untuk industri mereka, dan melakukan pemasaran terbatas. Kemudian bermunculan perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh para Taipan dengan staff kecil. Andrew Carnegie memulai membangun Pennsylvania Railroad dan Carnegie Steel; John D. Rockefeller mendirikan Standard Oil Company (yang keturunannya adalah ExxonMobil) dan Henry Ford mendirikan Ford Motors. Periode ini dianggap oleh sebagian besar ahli sebagai periode kebangkitan awal perusahaan, seperti dicatat Michael Reich, “Dari 500 perusahaan terbesar pada tahun 1994, lebih dari setengah didirikan antara 1880 dan 1930”.
1.18. Dua peristiwa perang dunia (I dan II) dan kemenangan revolusi Bolshevik menandai akhir kapitalisme monopoli, dan kemudian digantikan dengan kapitalisme oligopoly yang dikomandoi AS—kebangkitan perusahaan raksasa, demikian dikatakan Paul Baran dan Sweesy. Kedua ahli ekonomi marxist ini juga menambahkan, karakteristik perusahaan raksasa mulai muncul ketika itu adalah: 1) kontrol disandarkan di tangan manajemen (yaitu Direksi dan Chief Executive Officer), 2) manajemen memegang kendali penting dan permanen, dan 3) masing-masing perusahaan biasanya secara normal mencapai kemandirian pendanaan melalui penghasilan hasil kelola manajemen itu.
1.19. 1945-1961, terjadi peningkatan merger dan pertumbuhan internal yang didorong oleh konsentrasi produksi berskala besar—terutama perusahaan raksasa AS. Berdasarkan catatan Michael Reich, seorang ekonom liberal, diketahui bahwa; Industri bajar dikendalikan oleh tiga raksasa - Amerika Serikat Steel, Republik, dan Betlehem;industri peralatan listrik dan kelistrikan dikendalikan oleh oleh dua raksasa - General Electric dan Westinghouse. Industri kimia dasar dikendalikan oleh tiga raksasa - DuPont, Union Carbide, dan aliansinya. Dalam pengolahan makanan terdominasi oleh tiga raksasa – General Goods, Quaker Oaks, dan General Mills. Pada tembakau, ada tiga penguasa - RJ Reynolds, Ligget & Myers, dan American Tobacco; di mesin jet, dua - General Electric dan Pratt & Whitney; di industri mobil, ada tiga penguasa- General Motors, Ford, dan Chrysler. Dalam industri baru penyiaran televisi, ada tiga jaringan - NBC, CBS, dan ABC. konsolidasi ini terjadi di seluruh industri utama AS, dan kemudian berkembang menjadi oligopoly internasional.
1.20. pada tahun 1990, perusahaan standard oil milik AS, sudah merintis jalan menjadi perusahaan multi nasional, kemudian diikuti sedikitnya 50 perusahaan multinasional lain yang beroperasi di berbagai belahan dunia. "Dampak yang signifikan dari korporasi multinasional adalah internasionalisasi produksi, dan dalam perkembangan selanjutnya, menjadi ekonomi dunia. Dalam proses ini, keputusan investasi dan operasi perusahaan semakin dipandang bersifat global, alokasi sumber daya dan memaksimalkan kesejahteraan dunia." Ujar ekonom-ekonom Amerika.
1.21. pada tahun 2006, 500 perusahaan terbesar di dunia menghasilkan 10,6 triliun USD pendapatan dan 645 M USD keuntungan tiap tahunnya. Sementara 100 perusahaan terbesar di dunia menghasilkan pendapatan 10,3 T USD dan membukukan keuntungan 698 M USD—atau setara dengan Produk Domestik Bruto 100 negara terbelakang di dunia.
1.22. untuk menunjang ekspansi perusahaan multinasional itu, semenjak revolusi teknologi tahun 1970 perusahaan-perusahaan raksasa itu telah mengembangkan kapal kargo termaju, kargo pesawat, kabel di dasar laut, kontainer baja, satelit komunisi, dan mikro computer, yang kesemuanya itu, dimaksudkan untuk meningkatkan produksi dan transportasi.
1.23. Kapitalisme akhir-akhir ini benar-benar berbeda, Samir Amin menegaskan, “sebuah kekuatan tunggal oligigopolis menduduki posisi sangat tinggi dalam mengarahkan perekonomian nasional dan global”. Menurutnya, ini bukan lagi sekedar oligopoly sektor keuangan, tetapi sudah menjadi penggabungan dimana aktivitas produksi, agribisnis, perdagangan, jasa dan tentu saja keuangan telah menyatu.
1.24. Dengan begitu, William K.Tabb mendefenisikan imperialisme baru ini sebagai sistem kekuasaan dominant yang sanggup mengontrol perdagangan, investasi, tenaga kerja, dan sumber daya alam milik pihak lain.
1.25. Dominasi imperialisme AS semenjak 1945-1973 dapat digambarkan sebagai berikut; (1) perjuangan menahan kontraksi sistim kapitalis, (2) AS sebagai penyelenggara sistim kapitalisme dunia, (3) dan internasionalisasi teknologi. pada saat terjadi krisis ekonomi 1973-75, terjadi perubahan-perubahan penting dalam dunia kapitalis; (1) periode perusahaan multi nasional dan konsentrasi internasional dalam produksi telah dikembangkan kepada oligopoly internasional, (2) finansialisasi modal dan perbangkan telah mengangkat sektor dominant menjadi sektor paling dominant, (3) kekuatan kapitalis terbesar kembali membagi-ulang dunia.
1.26. Situasi ini akan membawa dunia pada situasi imperialisme yang baru, seperti yang dijelaskan John Bellamy Foster dan Istvan Mezaros, bahwa; (1) meningkatnya persaingan antara AS, Eropa, dan Jepang, (2) Kebangkitan China, sebuah kekuatan yang dipandang sebagai adidaya yang baru, (3) sikap agressif AS untuk tetap mempertahankan posisi hegemonic dan dominatif dalam geopolitik global.

2. Peran Modal Finansial dan Monopoli Capital

2.1. Selain itu, sebuah permainan (kasino) baru telah dibuka, ditandai dengan pertumbuhan transaksi keuangan dan aksi spekulasi yang murni parasit. Stagnasi ekonomi dan kejatuhan tingkat keuntungan (profit) pada tahun 1970-an, memaksa modal beralih pada sektor financial yang lebih menyakinkan untuk medapatkan keuntungan dalam waktu singkat.
2.2. Pada tahun 1990an, menurut angka yang disediakan Therborn, sejumlah uang yang setara dengan nilai PDB tahunan Meksiko diperdagangan di pasar keuangan London setiap harinya, dan di pasar keuangan global adalah 19 kali lebih besar dari nilai transaksi perdagangan jasa dan barang di seluruh dunia. Sementara, Ramonet, dalam sebuah konferensi ekonomi di Havana, menyebutkan 95% aktivitas ekonomi saat ini adalah bersifat financial. Sedangkan produksi, transfortasi, dan penjualan hanya menempati angka 5%. Dan, seluruh aktivitas ekonomi keuangan ini berjalan tanpa control politik dan public, sehingga sangat membahayakan masa depan ekonomi dunia.
2.3. Menurut Samir Amin, logika dari dominasi sektor keuangan terhadap sektor produksi adalah konsekuensi dari krisis akumulasi modal. Harus disadari, bahwa nilai surplus dapat diperoleh melalui rangkaian produksi dan terwujud di dalam komoditi itu sendiri. Sedangkan profit (keuntungan) hanya dapat diperoleh setelah melalui sirkulasi (terjual di atas biaya produksi). Dengan demikian, tingkat keuntungan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan, atau biasa disebut oleh para Keynesian sebagai “permintaan efektif”. Jadi, kalaupun modal surplus, tetapi kalau investasi ke sektor produksi terganjal oleh jatuhnya tingkat permintaan, maka ekonomi financial menjadi pilihan.
2.4. Solusi terhadap krisis kapitalisme, oleh karenanya, pencarian investasi modal untuk mencegah devalorization surplus capital.
2.5. Jadi, apa yang disebut dengan gelembung financial, atau fenomena spekulasi, adalah hasil tak terelakkan dari logika maksimalisasi laba (keuntungan).

3. Globalisasi dan Negara Nasional
3.1. Semakin dominannya capital financial dan pasar modal, dan kebebasan untuk bertindak tanpa batasan, merusak otonomi ekonomi Negara nasional, serta membuat Negara-negara tersebut tak sanggup menjelaskan dan mendefenisikan diri mereka sendiri. Bank Nasional telah menjadi kekuatan politik independen. Federal reserve (AS), Jerman Bundesbank, seperti juga bank sentral eropa, tak lagi berada dibawah control politik dan parlemen, melainkan dapat bertindak sendiri, bersifat otonom, dalam membuat kebijakan mengenai hal-hal yang dapat diperlukan dalam melindungi alat pertukaran.
3.2. Sebuah kekuatan oligharki internasional dapat memaksakan kekuasannya kepada keseluruhan manusia melalui institusi keuangan, yang peranannya sudah semakin dominan di berbagai belahan dunia.
3.3. Seperti dikatakan ekonom Kanada, Michael Chossudovsky, saat ini tak diperlukan lagi rekolonialisasi yang berbentuk penaklukan wilayah, ataupun pengiriman angkatan bersenjata. Pada abad 20, penaklukan bangsa-bangsa (dengan kata lain, control terhadap alat-alat produksi, tenaga kerja, sumber daya alam, dan institusi) dicapai melalui ruang rapat para dewan redaksi, hanya dengan bantuan computer dan seluler. Atau, seperti dikatakan Commandante Marcos, pimpinan EZLN, bahwa kita hidup dalam peperangan melawan institusi keuangan global, dan senjata mereka adam “bom financial”.
3.4. Dalam proses globalisasi dan penyingkiran Negara nasional (dalam pengertian, ekonomi mandiri), menurut Castell, dipengaruhi beberapa hal: (1) kapasitas teknologi setiap negeri atau kawasan, (2) akses yang besar, terintegrasi, dan pasar yang kaya, (3) perbedaan antara biaya produksi pada biaya asli, dan perbedaan dalam penentuan harga di pasar (titik harga jual asli)—selain factor upah buruh murah, juga ada factor biaya pajak yang harus dibayar, regulasi lingkungan yang ketat, dan pembatasan lainnya (4) kapasitas politik Negara nasional atau institusi internasional dalam membantu negeri baru berkembang.
3.5. Lebih lengkap lagi, Samir Amin menjelaskan aspek-aspek yang menjadi tekanan dominan Negara maju; (1) monopoli teknologi, (2) pengendalian pasar keuangan global, (3) monopoli atas akses sumber daya alam, (4) monopoli media massa, dan (5) monopoli terhadap senjata pemusnah missal.
3.6. Akhirnya, seperti ditambahkan oleh Pablo Gonzales Casanova, globalisasi kontemporer berkontribusi kepada peningkatan transper surplus kekayaan dari negeri miskin ke negeri maju.

Krisis Kapitalisme Global dan Dampaknya

1.1. Kapitalisme industri, yang merengkuh kemenangan pada abad ke-19, terus mengalami krisis semenjak tahun 1873 hingga kini. Menurut catatan Samir Amin, ada dua krisis sistemik yang terjadi sepanjang lintasan 1873-1990; (1) krisis sistemik menjelang perang dunia pertama dan kedua, melahirkan revolusi anti kapitalis (Rusia, China) dan revolusi anti-imperialis (Asia-afrika). (2) krisis sistemik kedua dimulai semenjak 1971 dan meninggalkan konverbilitas dari emas ke dollar, sementara tingkat investasi, pertumbuhan, dan tingkat keuntungan terus jatuh. Keduanya, menurut Samir Amin, mengungkapkan pertanda penuaan dalam sistim kapitalisme---seperti di katakan Marx, bahwa kapitalisme tua cenderung parasit.
1.2. Semenjak dua dekade yang lalu, maka diputuskan oleh elit keuangan global bahwa kerangka kerja bagi perekonomian globali dibagi menjadi; (1) derivatif global—berbasiskan sistem keuangan, dikendalikan oleh US Federal Reserve Bank dan asosiasi bank-bank negara maju, (2) relokasi produksi barang dari barat ke timur, khususnya produksi barang, terutama ke China, India, Asia timur, dsb.

A. Pemicu Krisis

1.3. Sebagai titik awal, kaum marxist mencoba memahami krisis ini dari dua aspek; (1) krisis ekonomi saat ini tidak dapat dilepaskan dari pengaturan tata-ekonomi kapitalisme global sejak tahun 1980-an. Dan, perlu diketahui, bahwa pengaturan itu sendiri mewakili “solusi temporer” terhadap krisis yang sudah terjadi satu dekade sebelumnya; 1970. (2) Krisis tahun 1970 merupakan gambaran nyata dari kontradiksi utama dalam kapitalisme, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas).
1.4. Harry Magdoff dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli capital dan stagnasi. Jadi, apapun solusi yang ditawarkan kaum kapitalis dan mereka yang berada dibarisan ini, akan mengalami kegagalan kalau tidak mengarah pada usaha mengatasi problem penyebab stagnasi itu sendiri.

B. Dampak Berjalin Dari Krisis
B.1 Krisis Finansial
1.5. Ekonomi keuangan, seperti dicatat Lenin dalam karya klasiknya “imperialisme, sebetulnya sudah berkembang dalam ekonomi global semenjak 1870 dan awal perang besar 1914. Apa yang sekarang ini terjadi, dari tahun 1980-an, adalah evolusi lebih lanjut dari ekonomi keuangan yang semakin mobile, mengglobal, dan didukung oleh perkembangan teknologi informasi.
1.6. setelah berakhirnya masa keemasan kapitalisme, dari 1950-an hingga 1990an, kapitalisme memasuki fase stagnasi, akibat dari jatuhnya permintaan, kompetisi dari imperialis, dan perjuangan kelas pekerja. Ini coba diselesaikan di bawah Ronald reagen, dan dibantu oleh saudara kembarnya di Inggris, Margareth Tatcher, melalui serangkaian reformasi ekonomi, seperti serangan terhadap kelas pekerja (penghancuran serikat buruh, pemangkasan upah, dsb), deregulasi, pemotongan anggaran sosial, dsb.
1.7. ada beberapa faktor yang bisa mendorong basis material perkembangan sektor keuangan; (1) keberhasilan TNC minyak membukukan laba/keuntungan yang sangat besar dan tersimpan di bank-bank di wall-street, (2) penarikan dana dari masyarakat melalui tabungan pensiun, jamsostek, dsb, (3) pembongkaran sistem bretton woods, yaitu tergantikannya emas oleh dollar sebagai alat ukur pertukaran mata uang.
1.8. Rumus akumulasi finansialisasi ini adalah M+M1+M2.., bukan lagi M+C+M1+C1+M2. pertanyaannya; bagaimana anda bisa membuat uang dari uang, tanpa melalui proses investasi di sektor produktif dan pemasaran? Jawabannya; pertama, cara paling kuno adalah meminjamkan uang dengan pengembalian plus bunga. Kedua, memasukkan uang ke pasar saham. Ketiga, memasukkan uang ke dalam pasar mata uang, dimana anda bisa membeli mata uang tertentu, kemudian menukarkannya dengan mata uang lain, dan anda mendapat selisih. Selain itu, anda juga dapat meminjamkan uang kepada pemerintah dengan membeli sekuritas pemerintah, kemudian pemerintah menarik pajak dari rakyat dan membayar anda dengan uang plus bunganya.
1.9. perkembangan pasar keuangan, terutama sekali, karena ditopang oleh kebijakan deregulasi dan pemanjaan terhadap sektor swasta.
1.10. Setelah krisis dalam kapitalisme maju pada akhir 70-an, kelas penguasa mereka sangat mendorong strategi pembukaan pasar dunia ketiga, membuka pasar keuangan di mana-mana, dan menerapkan serangkaian aturan baru dalam permainan di bawah perlindungan Bank Dunia , IMF, dan akhirnya WTO. Ini adalah situasi baru. Sekarang, ini adalah konteks globalisasi keuangan.
1.11. Pada intinya, finansialisasi tidak bisa mengatasi persoalan inheren kapitalisme, tetapi justru menghasilkan masalah baru; matinya sektor real dan melorotnya permintaan. Dan, pada kenyataan, perkembangan besar di sektor finansial tidak menghasilkan apa-apa, kecuali uang di kertas (fiktif), karena hanya buruh yang menghasilkan nilai lebih.

B.2 Krisis Real Estate
1.12. Analogi sederhananya begini; Bank menerima deposito dari anda dan saya, kemudian mereka meminjamkan kepada industri. Bank membayar anda dengan bunga tertentu. Dan para industrialis membayar tingkat bunga itu. Perbedaan antara kedua tingkat bunga adalah sumber keuntungan bank. Ini adalah model perbankan komersial tua. Setelah memasuki periode deregulasi keuangan, kita memasuki model baru. Analogi untuk bank komersial dulunya adalah model “museum”. Ketika orang mengambil pinjaman kepada bank, maka ia menciptakan asset bagi bank tersebut. Hal itu dimasukkan dalam rekening dan tetap seperti itu, tidak berubah. Sekarang ini, model “museum” ini telah hilang. Kita memasuki model “parkiran” sekarang. Perjanjian kredit antara peminjam dan bank bukanlah akhir dari segalanya. Bank mengkonversi pinjaman itu ke dalam sebuah asset keuangan yang dapat diperjual-belikan, melalui sebuah proses yang disebut sekuritisasi. Instrument ini kemudian diperjual-belikan dipasar keuangan. Orang atau entitas yang beroperasi di pasar keuangan dapat membeli dan menjualnya. Orang yang memperdagangkan asset ini berharap mendapat keuntungan, antara lain, melalui harga pembelian yang lebih rendah dan kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi.
1.13. Nah, bank yang mengambil kredit perumahan ini, telah mengubahnya menjadi asset yang "disekuritaskan" (securitised) dengan aset-aset lain menjadi produk-produk derivatif yang kompleks disebut "obligasi beragun aset" (collateralised debt obligations - CDOs). Orang-orang yang membeli obligasi itu melakukannya ketika pasar perumahan berkembang dan nilai asset perumahan naik, dan mereka berharap menjual obligasi itu dengan harga yang lebih tinggi. Ketika pinjaman ini mulai terasa kecut, misalnya, karena nilai rumah hancur akibat banyak peminjam yang default dalam membayar ansuran, atau karena banyak orang menjual rumahnya untuk membayar utang, maka sekuritas itu segera kehilangan harganya. Nah, Bank atau orang yang menjual asset bermasalah ini seolah merasa telah terlepas dari resiko, namun, pada kenyataannya, mereka telah menyebarkan resiko ke dalam sistem, seperti tertular ke bank-bank investasi seperti Goldman Sachs dan Merril Lynch dan sebagainya.
1.14. Pada kenyataannya, bahwa sistem kredit telah membiayai pertumbuhan ekonomi AS sepanjang tahun 1980, sementara, pada sisi lain, deregulasi sektor keuangan juga menjadi solusi bagi kapitalisme global untuk mengembalikan tingkat keuntungan mereka (profit). Ini merupakan gambaran buruk terhadap ekonomi secara umum. Ancaman terbesar di depan mata adalah hutang rumah tangga yang sudah membumbung tinggi. Pada tahun 1990an, utang rumah tangga sudah mencapai 95,6% dari keseluruhan pendapatan tersebut. Setelah jutaan orang kehilangan uang mereka dan tertekan oleh utang baru, bank-bank sekarang memiliki utang yang beresiko sangat buruk. Krisis suprime mortage merupakan bagian dari gambaran utang rakyat pekerja dan kalangan menengah. Pemompaan kredit dalam keuangan adalah cara kelas berkuasa untuk menunda krisis, tapi sebetulnya telah memperdalam derajat krisis kelebihan produksi itu sendiri.
1.15. Dinamika krisis saat ini bermuasal dari keruntuhan pasar perumahan AS, juga dikenal dengan “subprime implosion”. Alan Greenspan, gubernur The Fed ketika itu, memotong suku bunga hingga 1%--terendah selama 45 tahun—untuk mengatasi dampak resesi akibat ledakan gelembung teknologi.

B. 3 Krisis Makanan (Food Crisis)
1.16. Di negeri pinggiran, kekuatan oligopoly mensponsori perampasan terhadap kapital sosial milik publik dan merampas sumber daya alam setempat. Ini menjadi faktor terpenting penyumbang kemiskinan di negeri-negeri pinggiran. Selama 40 tahun lebih, pertanian telah bertransformasi menjadi sejenis produksi kapitalis, pertanian monokultur.
1.17. Meskipun memang ada pengaruh kenaikan harga minyak, tetapi itu tidak bisa menjelaskan pemicu struktural krisis pangan. Penyebab struktural krisis pangan adalah pergeseran produksi ke agrofuel dan permainan spekulan pasar finansial, dengan mengurangi persediaan, bukan produksi.
1.18. Menurut organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO), sepanjang tahun 2007 dan 2008, sekitar 50 juta penduduk bumi terdesak ke bawah garis kemiskinan—yang, berarti, masuk dalam kelaparan.
1.19. Kapitalisme berkontribusi sangat besar dalam penciptaan kelaparan rakyat dunia, setidaknya karena dua aspek logika kapitalis; (1) pencarian lapangan baru untuk akumulasi- di sini, mereka mengidentifikasi pertanian sebagai lahan baru bagi proses akumulasi, (2) pengesampingan eksternalisasi dari biaya kalkulasi ekonomi, seperti kerusakan alam, penghancuran sosial, dsb. Jadi, hasilnya; kontradiksi antara kenyataan bahwa seluruh manusia di Bumi membutuhkan makanan, dan logika membatu kapitalisme untuk terus berakumulasi.

B.4 Krisis Energi, Sumber daya alam, dan perubahan Iklim
1.20. Krisis ekologi sudah muncul setiap hari dalam kehidupan manusia, bukan hanya dalam bentuk ancaman yang merusakkan kehidupan milyaran manusia melalui badai, kekeringan, banjir, tetapi juga dalam bentuk penghancuran besar-besaran oleh modal.
1.21. Ini adalah batas-batas pertumbuhan ekologi; keterbatasan sumber daya (peak oil, dsb), keterbatasan ruang di udara akibat efek rumah kaca, dsb. Atmosfer dan lautan memang sangat besar, tetapi, pada akhirnya, itu menjadi terbatas, sumber daya terbatas—dan kapitalisme sekarang menekan batas-batas itu. Pada tahun 2006, Living planet report WWF menyimpulkan, kapasitas generatif bumi sudah tidak dapat lagi memenuhi permintaan manusia---orang lebih cepat mengubah sumber daya menjadi sampah, ketimbang alam mengubah sampah menjadi sumber daya.
1.22. Secara khusus, polusi kapitalisme sudah melewati batas kemampuan alam untuk menyerap karbon dioksida dan gas lainnya, saat menjaga temperatur suhu bumi. Akibatnya, bumi sekarang ini lebih panas dibanding 100 ribu tahun yang lalu, dan kini pun suhu terus meningkat secara drastis.
1.23. Menjelaskan persoalan ini, pendapat kawan Evo Morales sangat menjawab tantangan ini. Menurutnya, kompetisi dan rasa haus untuk mendapatkan keuntungan (profit) tanpa batas dalam sistim kapitalisme, telah berkontribusi pada penghancuran planet. Di bawah kapitalisme, manusia bukanlah manusian, melainkan konsumen. Di bawah kapitalisme, ibu pertiwi itu tidak pernah ada, dan digantikan bahan baku. Kapitalisme adalah sumber asimetri dan ketidakseimbangan di dunia. Ini menghasilkan kemewahan, kesombongan dan limbah selama beberapa, sementara jutaan orang di dunia meninggal karena kelaparan di dunia.

B.5 Krisis Demokrasi Liberal
1.24. Seiring dengan kegagalan kapitalisme neoliberal mensejahterakan rakyat, klas berkuasa hanya dapat mempertahankan kekuasaannya melalui mekanisme pemilu yang dikontrol, dimanipulasi, dan dicurangi. Ini menumbuhkan gejala golput dan krisis partisipasi dalam pemilu-pemilu negara liberal di berbagai belahan dunia, bukan hanya di negeri-negeri maju, tetapi juga di negara berkembang.

C. Kontraksi Neoliberal dalam memperdalam akumulasi
1.1. Semenjak tahun 1970-an, seperti yang seringkali menjadi basis argumentasi paul Sweezy dan Baran, bahwa kapitalisme paska perang cenderung memasuki kontradiksi inheren; stagnasi. Ini, berdasarkan argumentasi mereka, didorong oleh perkembangan monopoli yang mulai memanipulasi harga, untuk menggali keuntungan. Sementara Robert Brenner, ekonom marxist lainnya, cenderung menyetujui pendapat bahwa kapitalisme mengarah stagnasi, namun Brenner menekankan kelebihan produksi sebagai penyebab utamanya, terutama disebabkan oleh persaingan blok modal dalam investasi.
1.2. Nah, bagaimana kapitalisme keluar dari krisis itu? Terhadap pertanyaan ini, Walden Bello menyatakan ada 3 jalan keluar; restrukturisasi neoliberal, globalisasi dan finansialisasi.
1.3. Restrukturisasi neoliberal mengambil bentuk Reaganisme dan Thatcherisme di Utara dan penyesuaian struktural di Selatan. Tujuannya adalah menggalakkan akumulasi kapital, dan ini dilakukan dengan 1) menghapuskan hambatan-hambatan yang didirikan negara terhadap pertumbuhan, penggunaan dan arus kapital dan kekayaan; dan 2) meredistribusikan penghasilan dari kaum miskin dan kelas menengah kepada kaum kaya dengan teori bahwa kaum kaya akan kemudian termotivasi untuk berinvestasi dan memicu kembali pertumbuhan ekonomi.
1.4. Jalan keluar kapital global yang kedua untuk melawan stagnasi adalah "akumulasi ekstensif" atau globalisasi, atau integrasi pesat wilayah-wilayah semi-kapitalis, non-kapitalis atau pra-kapitalis ke dalam ekonomi pasar global. Rosa Luxemburg, ekonom revolusioner Jerman yang terkenal, melihat hal ini jauh di masa lalu sebagai suatu keharusan untuk menaikkan tingkat profit (rate of profit) di ekonomi-ekonomi metropolitan. Bagaimana? Dengan membuka akses terhadap buruh murah; dengan memperoleh pasar-pasar yang baru, meskipun terbatas; dengan memperoleh sumber-sumber produk pertanian dan bahan baku yang baru, dan dengan menciptakan wilayah-wilayah baru untuk investasi di bidang infrastruktur. Integrasi dijalankan via liberalisasi perdagangan, dengan menyingkirkan halangan-halangan terhadap mobilitas kapital global dan menghapuskan halangan terhadap investasi asing.
1.5. Tiongkok, tentunya, adalah kasus terdepan tentang wilayah non-kapitalis yang terintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis global selama 25 tahun terakhir.
1.6. Mengapa globalisasi tidak menuntaskan krisis? Problem dari jalan keluar stagnasi yang satu ini adalah ia memperparah problem produksi-berlebih karena menambah kapasitas produktif. Besar sekali peningkatan jumlah kapasitas manufaktur Tiongkok dalam 25 tahun terakhir, dan ini menyebabkan dampak yang menekan harga dan keuntungan. Tidaklah mengejutkan ketika sekitar 1997 keuntungan korporasi-korporasi AS berhenti berkembang. Menurut sebuah indeks, tingkat keuntungan 500 perusahaan Fortune menurun dari 7.15 pada 1960-69 menjadi 5,30 pada 1980-90 hingga 2,29 pada 1990-99 dan 1,32 pada 2000-2002.

D. Bagaimana Krisis Ini Berjalan
1.7. Situasi internasional saat ini ditandai oleh krisis multi-dimensi dan komfrehensif—ekonomi, sosial, pangan, dan ekologi—yang mengguncang dunia kapitalisme. Menariknya, ekonom borjuis sedang mendiskusikan wacana soal “akhir dari resesi”—dan atau “keluar dari resesi”, sesuatu perdebatan mengenai arah ke depan dari perkembangan krisis saat ini.

D.1 Keluar dari Krisis?
1.8. Meskipun masih diwarnai ketidakpastian, namun sejumlah ekonom borjuis menawarkan optimisme bahwa krisis ini akan segera berakhir, ditandai adanya prediksi pertumbuhan sebesar 3% pada 2010. Pandangan ini dipungut dari kesimpulan IMF, bahwa pertumbuhan ekonomi Asia sebesar 7% (meskipun terjadi kontraksi), akan menderek pertumbuhan ekonomi di AS sebesar 1,5% dan o,3% di Eropa.
1.9. Di AS, pemulihan yang segera nampak terlihat, meskipun masih sangat sedikit, itu berasal dari penggelontoran duit besar-besaran ke perbankan. Sementara perkembangan positif di Eropa terdorong oleh program yang disebut “stabilisator sosial”—sebuah perangkat bantuan dan jaminan sosial, seperti penyediaan bantuan untuk kemudahan membeli mobil, dll.
1.10. Banyak orang berpendapat, bahwa China akan menyelamatkan dunia dari depresi besar dan termasuk bagaimana mengeluarkan dunia dari krisis saat ini. Potensi peran Cina sebagai exit strategy dari krisis kelebihan kapasitas digarisbawahi oleh kenyataan bahwa Cina telah menyerap rata-rata 45 milyar dollar AS dalam modal asing sejak akhir sembilan puluhan, membuat Cina sebagai penerima penanaman modal asing terbesar di Selatan.
1.11. Kalau saja Cina memutuskan untuk beralih, kemudian mendompleng pertumbuhan kapitalis terutama untuk mengekspansi daya beli domestik, maka Cina bisa berubah menjadi suatu mesin yang mungkin selama beberapa dekade kedepan dapat mengusir, bayang bayang stagnasi global. Saat ini Cina sudah menjadi pasar terbesar telpon selular di dunia, dan bahwa Ericsson, yang sedang dalam kesulitan, kini melangkah untuk mendirikan pabrik di Cina, menunjukkan bahwa para pemain kunci di sektor telecom (sebuah sektor penuh krisis) melihat china sebagai tanah penyelamatan.

D.2 Keberlanjutan Krisis
1.12. Dengan mengambil kesimpulan, bahwa penggelontoran dana secara besaran-besaran di negeri-negeri kapitalis induk saat ini, menjadi pemicu dari pemulihan sementara, maka, ketika proses ini dihentikan, dunia yang sakit ini akan kembali terjerembab dalam krisis parah. Ini persis dengan pasien yang ketergantungan pada sebutir obat setiap detiknya.
1.13. Pada tingkat kongjuntural, negara dan pemerintahan negara maju akan tetap berhadapan dengan utang rumah tangga (publik) yang sangat tinggi, bank-bank yang tidak mengetahui sejauh mana asset beracun mempengaruhi pendanaan mereka, dan sebagainya. Ini dapat sekali menimbulkan crash baru di masa mendatang.
1.14. Pada tingkat struktural, kapitalisme saat ini akan sulit menemukan mesin penjinak terhadap aspek-aspek stuktural krisis ini; krisis over produksi dan over kapasitas, kejatuhan tingkat keuntungan, dsb.
1.15. Situasi ini akan semakin memperparah kondisi kapitalisme yang sedang sakit, dan kalaupun ada penyelesaian temporer, hal itu akan menjadi akumulasi krisis yang jauh lebih ganas di masa-masa mendatang.
1.16. Hal itu akan diperparah dengan krisis lainnya, khususnya energy dan pangan, dua sumber daya vital dalam hidup manusia yang tak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar, karena akan memicu kerusuhan sosial kalau terjadi kelangkaan terhadap keduanya.
1.17. Ancaman terbesar untuk mengantarkan kapitalisme pada batasannya (limit) adalah krisis ekologi, terutama karena pemanasan global. Ini tidak dapat dipungkiri lagi, dan ketakutan terhadap ancaman ini tak dapat dikompromikan lagi.

D.3 Kontinuitas Kapitalisme
1.18. Perlu diakui, seperti yang ditekankan oleh Rosa Luxemburg, bahwa kapitalisme sulit mencapai batas akhirnya (keruntuhannya) kalau masih terdapat daerah non-kapitalis atau pra-kapitalis, sebuah tempat dimana kelebihan capital dan kelebihan produksi negeri-negeri imperialis akan ditampung.
1.19. Kelihatannya kapitalisme akan mencoba mencari solusi temporer terhadap krisis mereka saat ini, dan sangat mungkin mereka mendorong semacam tatatan dunia kapitalis baru yang lebih terkontrol, mungkin berbau Keynesian atau regulasionis.
1.20. Dan, mengikuti ramalan ahli ekonomi kenamaan Sovyet, Nikolai Kondratiev's, yang menyebutkan bahwa kapitalisme bergerak maju dalam gelombang-gelombang panjang, biasanya 40-tahun, yang menggulung naik, memuncak, dan kemudian merosot kembali. Kalau menyaksikan sejarah berbagai resesi, depresi, dan krisis ekonomi kapitalis, teori gelombang kondratiev ada benarnya. Dan, menurut teori itu, kemungkinan besar pada tahun 2015-2010, kapitalisme akan mulai terangkat kembali, menggulung naik.

Pengaruh Krisis Kapitalisme Global Terhadap Indonesia

A. Pengaruh Lansung Krisis Global
1.21. Pertama sekali, kita tidak dapat mengabaikan persoalan de-coupling ekononomi sehubungan dengan krisis ekonomi di dalam sistem kapitalisme global yang semakin terintegrasi.
1.22. Namun, meskipun begitu, sebagian besar ilmuwan borjuis menganggap, bahwa krisis ekonomi dunia tidak akan begitu mempengaruhi Asia, termasuk Indonesia, sebab Asia sudah sangat terpisah dari sistem keuangan di Barat. Asia tidak memiliki persoalan suprime mortage seperti di AS, dan sedang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat.
1.23. Menurut Venkatesh Athreya, seorang ekonom progressif dari India, integrasi ekonomi global membuat dampak krisis saat ini sangat berbeda dengan 30-40 tahun lalu, dimana goncangan di negara maju belum tentu keras terasa di rumah kita. Namun sekarang ini, dengan integrasi ekonomi global tersebut, jika Amerika bersin, kita bukan hanya terkena cipratan air, tetapi kita akhirnya juga terkena demam.
1.24. Baiklah, kita sekarang memperhitungkan pengaruhnya ke kita; pertama, krisis ekonomi ini akan berpengaruh terhadap negara yang perekonomiannya sangat bertumpu pada industri berorientasi ekspor, termasuk Indonesia. Karena krisis mendorong kontraksi permintaan negara maju, maka nilai eskpor kita pun akan merosot, sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi perusahaan ekspor di dalam negeri. Ini akan mempercepat proses de-industrialisasi, berarti gelombang PHK massal, pengangguran, dan kejatuhan daya beli secara massif. Industri manufaktur menderita serangan berantai. Belum selesai “sakit” akibat pengaruh krisis global, sektor manufaktur kembali dirugikan oleh krisis listrik, kemudian nanti penerapan perdagangan bebas melalui FTA ASEAN-China. Ini merupakan serangan mematikan, dan korban yang sudah diujung maut ini akan tewas kalau tidak ada “jeda” untuk menghentikan serangan ini. Kedua, Krisis ini, pertama sekali, akan berpengaruh pada sektor keuangan dan perbankan. Kita harus menyadari, bahwa pemain terbesar di pasar keuangan kita, terutama di pasar saham, adalah pemodal asing (forto polio). Sedangkan pemain pribumi di pasar saham hanya berkisar 1%. Meski begitu, ancaman sesungguhnya bukan pada kolapsnya “pemain 1% itu”, tetapi terjadinya pelarian modal besar-besaran. Karena pasar keuangan kita terderegulasi, belum lagi pemain utamanya adalah asing, maka setiap gejolak ekonomi global dapat memicu pelarian kapital besar-besaran. Hal itu berarti permintaan besar terhadap dollar, dan itu akan menekan rupiah. Kalau rupiah kita terus melemah, maka itu akan berpengaruh kepada kegiatan impor, sebab biaya impor kita akan semakin mahal. Akibatnya, kejadian ini bisa memicu terjadinya inflasi; biaya makanan dan kebutuhan pokok sewaktu-waktu bisa meroket. Pelarian modal berarti pasar modal menurun dan nilai rupiah akan merosot. Bagi masyarakat umum, ini dapat diterjemahkan sebagai perlambatan investasi, penurunan daya serap tenaga kerja, dan sebagainya.

B. Struktur ekonomi di dalam negeri
1.25. Jauh-jauh hari sebelum krisis ekonomi global, perekonomian Indonesia sudah “separuh nafas”, terutama disebabkan oleh praktik ekonomi neoliberal—neo-kolonialisme. Jauh hari sebelum orang berbicara soal ancaman PHK, jutaan kaum buruh di Indonesia sudah berhadapan dengan PHK massal, penurunan upah, dan sistem kontrak/outsourcing. Krisis hanya menghadirkan beban tambahan terhadap persoalan rakyat secara keseluruhan.
1.26. Saat ini, pemicu pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kegiatan ekspor, khususnya barang-barang komoditas global, dan sektor konsumsi yang dibiayai oleh utang. Ini persis dengan “gelembung air” yang mudah pecah, terutama kalau terjadi perubahan ekonomi di tingkat global.
1.27. Dalam memerangi defisit anggaran, pemerintah Indonesia benar-benar berusaha memangkas pengeluaran, tetapi bukan dengan menaikkan penerimaan, melainkan dengan melakukan pemangkasan terhadap anggaran publik dan subsidi. Akibat keputusan pemerintah ini adalah merosotnya permintaan di dalam negeri, melemahnya daya beli, sehingga mengurangi kapasitas terpakai industri di dalam negeri.
1.28. Dalam menaikkan penerimaan, pemerintah kembali mengulang kebijakan kolonial dalam menarik pajak; pada saat itu, kolonialisator membebankan pajak lebih besar kepada kalangan menengah dan bawah rakyat Indonesia, sementara kalangan atasnya dibebaskan dari kewajiban itu. Pada tahun 1919, pajak langsung dan tidak langsung yang ditarik dari penduduk mencapai 60% dari seluruh pendapatan negara. Saat ini, pemerintah mengumpulkan pajak mencapai 73% dari pendapatan negara, jauh diatas penerimaan dari sektor migas yang berada di bawah 25%. Karena model pungutan pajak yang lebih menguras ke bawah ini, maka dipastikan bahwa kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat miskin.
1.29. Sepuluh tahun periode liberalisasi ekonomi yang sangat massif, perekonomian Indonesia benar-benar dibuat rontok; de-industrialisasi terus meningkat setiap tahun, kehancuran sektor pertanian, kemandekan tenaga-tenaga produktif.

Faktor Warisan Kolonialisme Terhadap Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan Rakyat

1.30. Seperti dikatakan Frans Fanon (1966), Kolonialisme tidak hanya merampas kebebasan dan kekayaan rakyat, tetapi juga karakternya, dan meninggalkan rakyat dalam kebingunan intelektual dan moral. Artinya, defenisi kolonialisme tidak bisa diberi ruang sempit hanya pada dimensi ekonomi, tetapi juga harus diberi pada dimensi lain seperti politik, sosial, dan budaya.
1.31. Implikasi kolonialisme di bidang ekonomi: Kolonialisme menghilang segala bentuk usaha nyata untuk pembangunan ekonomi, dan merampok ataupun menyita seluruh sumber daya produktif. Segera setelah kolonialisator meninggalkan koloninya, mereka hanya menyisakan kehancuran sumber daya dan syarat-syarat kemajuan ekonomis.
1.32. Oleh karena itu, kolonialis memaksa Negara jajahan, pada tahap awal, mengembangkan monokultur non-teknologi, kemudian hasilnya dijual dengan harga sangat murah ke Negara-negara dominan.
1.33. Dalam dimensi politik, kolonialisme meninggalkan ketergantungan yang dijaga melalui control dan dominasi politik, dan tercermin dalam eksploitasi ekonomi. Penaklukkan dengan kekerasan dan pemeliharaan dengan kekerasan pula, terhadap orang atau bangsa terjajah. Akhirnya, mereka meninggalkan model pemimpin politis penakut dan selalu merasa tertekan.
1.34. Di aspek sosial dan budaya, muncul perasaan psikologis yang ter-dehumanisasi oleh penjajah, terutama kalau penjajah (kolonialisator) memaksakan kebudayaan asing. Kolonialisme adalah sebuah system yang didukung oleh segala ideology rasis, dan dilembagakan dalam ruang kebudayaan untuk berdominasi.
1.35. Tujuan utama kolonialisme bukanlah pemindahan penduduk metropolitan untuk mengisi koloni, mengembangkan pertanian mereka seperti yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi (dan sebelumnya). Ekonomi koloni dirancang untuk berfungsi sebagai sumber tenaga kerja murah, pasar, lahan investasi, dan sumber daya alam, dan tidak pernah dirancang untuk memicu pengembangan internal. Karena ekonomi dibangun berorientasi ekspor, dan di sisi lain, pemilik tanah dan sekutu kolonial adalah penguasa lokal, ini yang menyebabkan tumbuhnya oligharki lokal pelayan kepentingan kolonial.
1.36. Ekonom Amerika Latin, Celso Furtado, mencoba menjelaskan pola-pola kolonialisme bekerja; (1) keberadaan area luas tak termanfaatkan tidak diijinkan untuk dikelola intensifikasi, melainkan hanya ekstensifikasi, apalagi diarahkan kepada pertanian modern dan intensif. (2) proses akumulasi keuntungan oleh pemerintah kolonial langsung dibawa ke negerinya, sedangkan oleh elit lokal langsung mengkonsumsinya untuk foya2 atau sekedar pamer, bukan berinvestasi pada sektor produktif. (3) akibat dari struktur ekonomi yang terstruktur dan tersentralisasi di bawah kaki kolonial, maka sebagian besar rakyat hidup dalam penderitaan dan ketidaksetaraan.

Konsekuensi Neoliberal Indonesia Terhadap Ideologi Massa Rakyat

1.37. Marx pernah mengatakan, ideologi dominan dalam masyarakat berkelas adalah selalu ideologi kelas berkuasa, yaitu kelas yang memegang kekuasaan terhadap sarana produksi material. Sebab, dengan begitu, mereka juga merupakan klas yang mengontrol ala-alat produksi mental.
1.38. Di atas segalanya, menurut Willian Grigsby, mantan pemiminpin Sandinista, neoliberalisme bukan hanya ideology yang menjajah masyarakat dunia melalui kolonialisme tersembunyi. Neoliberalisme juga merupakan sebuah ideology yang mengubah masyarakat menjadi sekedar konsumen—dan bukan hanya menjadi konsumen, masyarakat juga diubah mentalnya menjadi apatis, sinis, dan sangat individualis.
1.39. Menurut William Grigsby, ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dari krisis dan pengangguran saat ini; (1) menguatnya peran ideologi neoliberal, baik melalui media massa maupun lembaga pendidikan, menyebabkan berkembangnya apatisme, individualisme, dan sikap alergi untuk berorganisasi. (2) Akibat begitu kejam dan ekstrimnya dampak yang ditimbulkan oleh neoliberalisme, sebagian besar rakyat kita mulai berlindung di balik sekte-sekte keagamaan, mesianisme, tabir moral untuk berlindung dari serangan kejam neoliberalisme. (3) membesarnya jumlah kaum penganggur dan disorganisasi kelas pekerja. Ini menyebabkan mereka semakin terfragmentasi, kehilangan kepercayaan, dan mudah dibeli dengan uang untuk alasan subsistensi hidup.
1.40. Kebijakan penyesuaian struktural selama 10 tahun terakhir telah menyebabkan kerusakan ekonomi yang sangat luar biasa, dan saya sering menyebutnya sebagai “dekade yang hilang” dalam sejarah Indonesia. Ini adalah fase penghancuran paling destruktif kapitalisme global terhadap ekonomi nasional dan hanya menyisakan puing-puing kehancuran ekonomi. Ini, mungkin saja, yang disebut Mike Davis sebagai konkretisasi teorinya soal “planet kumuh”.
1.41. Sebagai besar sektor sosial, termasuk sektor paling dinamis dari perekonomian seperti pekerja, petani, dan kaum profesional, telah disingkirkan sektor produksi. Kemudian, sebagai konsekuensi dari kenyataan tersebut, sebagian besar rakyat telah beralih kepada sektor informal, sedangkan negara mengarah kepada ekonomi gelap (hitam).
1.42. Neoliberalisme mendorong pemiskinan ekstrem, sedangkan pada sisi lain, mendorong kekayaan semakin terkonsentrasi di segelintir tangan. Neoliberalisme menghadirkan kesenjangan ekonomi paling ekstrem dalam sejarah dunia, dimana klas menengah terhapuskan dalam struktur ekonomi, kemudian berganti menjadi “lumpeng proletariat”.
1.43. Kenyataan ini juga terjadi di Indonesia, dengan kondisi yang tidak kalah buruknya. Kini, sebagian besar penduduk terperosok dalam kemiskinan (49%), sementara sebagian angkatan pekerja disuruh penjadi penganggur.
1.44. Kondisi yang sangat parah ini, dalam berbagai aspek, berpengaruh pada perubahan struktur kelas di dalam negeri. Penerapan sistem kontrak dan outsourcing, dalam beberapa aspek, berhasil mendemobilisasi kelas pekerja secara tradisional, dan akhirnya, mereka menjadi pekerja setengah menganggur.
1.45. Kelas pekerja yang terdisorganisasi menemukan dirinya sebagai individu-individu yang bersaing secara bebas, kehilangan rasa solidaritasnya, dan terseret untuk berfikir jangka pendek. Sedangkan rakyat secara umum, yang juga didera oleh kemiskinan, menemukan tidak ada pilihan selain mencari jalan hidup sendiri-sendiri, termasuk dengan menghalalkan segala cara. Ini yang menyebabkan tumbuh suburnya fragmatisme.
1.46. Di kalangan intelektual, kelas menengah, dan juga sebagian besar rakyat kita, telah berkembang semacam sinisme terhadap perubahan. Menurut Franz Hinkelammert, sinisme terdorong oleh karena selama bertahun-tahun, filosofis neoliberal telah membenarkan segala bentuk tindak-tanduknya dengan berbagai rasionalisasi. Segala bentuk irasionalisme pasar bebas dan liberalisme telah dirasionalisasi menjadi sesuatu yang rasional. Orang semakin tidak percaya dengan perubahan, tetapi, pada sisi lain, mempercayakan diri pada semacam mesianisme, seperti obsesi menjadi artis, menjadi orang terkenal, mendapat rejeki nomplok, dsb.
1.47. Dalam abad ini, kita juga berhadapan dengan ideologi neoliberal yang benar-benar berkuasa secara hegemonic, dan hanya menyediakan sedikit ruang bagi ideologi reaksioner, seperti fundamentalisme, rasialisme, mistisisme, dan ideologi ultra sayap kanannya. Sementara ideologi progressif, seperti sosialisme, komunisme, nasionalisme, dll, didiskreditkan sebagai ideologi yang gagal, ketinggalan jaman, dan menimbulkan horror (ketakutan).
1.48. Secara teoritis, kapitalisme sangat memusuhi segala bentuk solidaritas, sebab dengan konsep itu, kaum pekerja dan rakyat dikhawatirkan menemukan kekuatan perjuangan kelasnya. Sehingga, untuk itu, filosofis “kebebasan” bukan hanya ditebarkan dalam front ekonomi, tetapi juga disebarkan dalam praktik kehidupan sosial masyarakat, melalui media, pendidikan, pola hidup, konsumerisme, dsb. Mereka, para ideology borjuis, memaki-maki segala bentuk solidaritas dan komunalisme sebagai budaya kampungan.
1.49. Dalam neoliberalisme, kehidupan ekonomi telah diubah menjadi medan kompetisi yang sangat ganas dan kejam bagi seluruh massa rakyat; buruh bersaing dengan buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan diri dari pekerjaannya, orang-orang miskin memikirkan jalan hidup sendiri-sendiri untuk melanjutkan hidupnya.
1.50. Solidaliritas dalam konsep populasi saat ini, menurut Franz Hinkelammert, telah diubah pengertiannya menjadi surplus (profit). Sementara bagi Mike Davis, konsep masyarakat ala “neoliberal” telah memaksa populasi dunia ketiga untuk memilih jalan “bunuh diri massal”.
1.51. Pendek kata, pengaruh neoliberal dalam aspek ekonomi telah merendahkan martabat rakyat sebagai manusia, menghancurkan kolektifitas, dsb. Modal, yang begitu memuja pertumbuhan dan akumulasi, begitu menentang kolektivitas dan solidaritas. Neoliberal memandang rakyat bukan sebagai warga negara, melainkan sebagai komsumen dan pasar. Seperti pernah dikatakan Karl Polanyi, globalisasi neoliberal merupakan proyek politik untuk mengglobalkan pasar.

Pengaruh Sistim Politik Demokrasi Liberal Terhadap Massa Rakyat

A. Demokrasi dan Konsensus
1.52. Berbicara soal demokrasi, mengutip Andrés Pérez Baltodano, kita selalu berhadapan dengan dua hal; pertama, sebuah proses politik formal yang didesain dan dikendalikan oleh grup atau kelompok elit berkuasa. Kedua, sebuah konsensus sosial diantara rakyat, negara, dan pasar melalui proses-proses yang terus berkembang.
1.53. Yang terpenting, berdasarkan pengertian di atas, bahwa bentuk demokrasi jenis apapun akan selalu membutuhkan konsensus, termasuk demokrasi liberal. Tanpa konsensu, maka pemilu akan menjadi sangat rapuh dan hasilnya tidak akan mendapat legitimasi. Untuk itu, seperti dikatakan Hebert Adam, manipulasi legalitas dapat mengantarkan seseorang atau kelompok politik untuk berkuasa, plus dengan dukungan hukum.
1.54. Dalam prakteknya, konsensus sosial dapat tercapai apabila kelas dominant sanggup mengintegrasikan kepentingan-kepentingan masyarakat dan berbagai sektor yang berbeda. Dalam proyek ini, partai politik berfungsi sebagai alat untuk menarik kepentingan masyarakat menuju konsensus. Itulah mengapa, negara demokrasi liberal membiarkan parpol tumbuh subur, meskipun nanti akan diverifikasi menjelang pemilu, yaitu sebagai pencipta simpul-simpul konsensus di kalangan massa rakyat.
1.55. Akan tetapi, partai politik itu hanya dibiarkan bekerja dalam kerangka politik normative (dalam kepentingan sistim), ideologinya seragam, dan dalam batas-batas tidak memicu konfrontasi berbau benturan kelas sosial. Selama partai itu berkomitmen terhadap kedamaian, maka selama itu pula pintu kontestasi pemilu akan dibuka terus.
1.56. Dengan demikian, mekanisme elektoral threshold (ambang batas) merupakan mekanisme filtrasi untuk menyeleksi partai-partai politik yang pantas dan boleh ikut dalam pertandingan pemilu, yakni partai-partai yang tidak mengusik kepentingan klas dominan.
1.57. Antonio Gramsci, marxist Italia yang terkenal, memberikan kontribusi penting soal bagaimana kelas berkuasa sanggup menjalankan hegemoninya dan menyerap berbagai bentuk ketegangan sosial ke dalam kerangka institusi borjuis. Dalam kerangka itu, kelas dominant berhasil memaksakan proyek politiknya sebagai “akal sehat” yang harus diterima.
1.58. Semua perbedaan kepentingan dan benturan sosial di masyarakat dikanalkan melalui kerangka logika “mayoritas besar”—demikian pendapat Xabier Gorostiaga. Dengan begitu, kelompok kecil dan radikalis akan segera dicap ekstremis, pengacau, dan perusak tatanan (rust en orde).
1.59. Selain itu, menurut Baltodano, konsensus juga dapat diraih dengan mengatur perdebatan non-gagasan, sebuah tipe perdebatan sampah pada isu-isu “sampah”. Pada wilayah politik, perdebatan semacam ini menstimulir orang untuk bersikap alergi terhadap politik, sementara massa rakyat menafsirkan politik tidak lagi berbicara mengenai kepentingan mereka.

B. Demokrasi Liberal dan Penumpulan Gerakan Rakyat
1.60. Setelah kediktatoran berakhir, muncul gerakan-gerakan yang berorientasi lebih luas, seperti gerakan lingkungan, gereja progressif, gerakan melawan penghilangan orang, dsb. Di Amerika latin, gerakan ini menjadi gerakan massa karena pemimpinnya berasal dari akar rumput, sedangkan di Indonesia gerakan ini sepenuhnya dikendalikan oleh LSM/NGO, dimana berisikan orang-orang yang sudah minggir dari gerakan radikal.
1.61. Konsolidasi sektor-sektor di luar gerakan anti kediktatoran ini, khususnya di Indonesia, menjadi unsur pemecah (frgamentatif) terhadap gerakan rakyat secara umum, karena mereka mempromosikan pemisahan gerakan rakyat dari politik kekuasaan.
1.62. Perlu sekali untuk diingat, seperti dikatakan Marta Harnecker, bahwa salah satu kondisi penting untuk menandai proses transisi demokrasi adalah demobilisasi gerakan popular atau gerakan rakyat. Para pemimpin gerakan rakyat, yang notabene ada pemain kunci perjuangan anti-kediktatoran, telah disingkirkan dan digantikan oleh politisi professional—kebanyakan lulusan sekolah politik dan mantan petinggi NGO yang mendapat bea siswa.
1.63. Dalam arena baru ini, arena pertempuran memang terjadi di dua lini; parlemen dan di luar parlemen, namun penyempurnaan demokrasi liberal telah menjadikan “parlemen” sebagai satu-satunya arena pertempuran yang sah (konstitusional).

C. Konsekuensi Demokrasi Liberal
C.1 Krisis Terhadap Politisi dan Institusi Politik
1.64. Rakyat telah merasa dihapus dari negeri ini, terlepas dari ruang lingkup dan konsekuensi-konsekuensi sebagai warga negara. Lebih buruk lagi, mereka merasa telah disingkirkan dari ruang politik nasional. Mereka telah memutuskan, bahwa baik politisi maupun politik adalah sesuatu yang kotor, dan itu hanya diserahkan kaum profesional. Dengan keyakinan itu, mereka rela meninggalkan kedaulatannya dan mendelegasikan kepada segelintir elit politik profesional.
1.65. Sebaliknya, kelas dominant memanfaatkan situasi ini dengan mengkonsolidasikan kesadaran palsu tersebut, menyembunyikan informasi, kemudian menawarkan setengah kebenaran untuk menetralisir sektor sosial dan kesadaran politik. Bahkan, lebih dari itu, mereka membuat semacam rem yang memaksa organisasi sosial berjalan otonom dari politik.
1.66. Ketiadaan sosok pemimpin nasional, seperti pernah dilakukan Bung Karno dulu. Dengan merebaknya kekuatan pasar, beserta nilai-nilai ideologisnya seperti oportunisme, elitisme, individualisme, pragmatisme, para pemimpin yang terlahir dalam sistem ini adalah pemimpin yang sangat oportunis, elitis, dan bermental “banci”. Seiring dengan itu, proses pemilu dari tahun ke tahun hanya menawarkan pergantian orang, tetapi tidak ada pergantian jenis kebijakan. Ini menumbuhkan krisis ketidakpercayaan bukan saja terhadap elit politik, tetapi juga sistemnya.
1.67. Proses pemisahan antara rakyat dan politik juga ditopang oleh propaganda “apolitisme” secara besar-besaran, baik di media massa maupun lembaga pendidikan. Akibatnya, sebagian besar kaum muda bersikap skeptis dan pesimis terhadap pertarungan politik, apalagi dengan idiom-idiom ideologi.
1.68. Pada aspek lain, mekanisme demokrasi dan pemilihan membatasi ruang kepesertaan kepada partai dan kekuatan politik yang mengekspresikan penentangan terhadap ideologi dominan; pasar bebas. Kalaupun mereka boleh diikut sertakan, sebuah perangkap khusus untuk menjinakkan mereka sudah dibuat, tentu dengan harapan, bahwa partai progressif tersebut akan insaf dan meninggalkan radikalisme mereka.
1.69. Kontestasi pemilu telah diubah mirip dengan peran iklan, dimana perang gambar dan pose ditonjolkan, sementara perdebatan ide dikesampingkan jauh-jauh. Akhinya, pemenang-pemenang dalam pertarungan adalah selebritis politik, mereka-mereka yang sering memperlihatkan wajahnya di media massa.
1.70. Setelah partai dan kandidat yang terpilih melalui “pemilu bebas”—istilah UNDP, mereka akan segera berbalik menyerang janji-janji politik yang pernah diberikan kepada pendukungnya, sambil berangkulan dengan kekuatan modal.
1.71. Dengan begitu, dalam beberapa tahun terakhir di berbagai belahan dunia, telah tumbuh ketidakpercayaan terhadap politisi dan institusi politik. Pada saat yang sama, massa sebetulnya sudah digenggam oleh logika pasar, sehingga penampilan partai atau politik yang mengambil spektrum ideologis, pidato politik berapi-api, dan slogan bombastis, terkadang dianggap angin lalu dan kurang mengena hati rakyat. Mereka butuh bentuk kampanye dan pesan yang simple, mudah dipahami, tidak berbelit-belit, seperti iklan-iklan produk komersil.

C.2 Pembatasan Partisipasi Rakyat
1.72. Demokrasi yang baru ini, demokrasi-liberal, sangat membatasi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Mereka memang kemudian memberikan penghormatan terhadap hak pilih seluruh rakyat (universal suffrage), namun hasil pemilu selalu menciptakan situasi berlawanan; antara kehendak pemilih dengan mereka yang terpilih.
1.73. Dengan memilih seorang kandidat atau partai, dianggap bahwa konsensus atau kontrak politik sudah dilakukan, dan si kandidat terpilih dianggap mewakili aspirasi politik dari pemilih sesuai jangka waktu yang diperlukan.
1.74. Pada kenyataannya, kandidat-kandidat terpilih tidak sanggup menyelesaikan problem-problem rakyat, karena memang aturan demokrasi dan fikiran politik yang mereka gunakan tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan problem tersebut. Ini mirip dengan ungkapan seorang aktivis Brazil, Frei Betto; “Aku merasa seperti sedang menunggu kura-kura. Pada kenyataannya, yang lebih buruk, adalah bahwa kura-kura itu berjalan pada arah yang lain”.
1.75. Meskipun jumlah peserta pemilu meningkat begitu pesat di negeri-negeri kami selama dekade2 terakhir, dan tiap hari semakin susah mencurangi pemilu, secara paradoks ini tidak menghasilkan perluasan sistem demokratik, karena sebagian besar keputusan-keputusan penting tidak diadopsi oleh parlemen melainkan oleh entitas2 yang berada di luar kontrolnya: agen-agen finansial internasional yang besar (IMF, World Bank), bank sentral yang otonom, korporasi transnasional besar dan organisasi keamanan nasional. Kini, tampaknya kelompok-kelompok dominan semakin bersedia mentoleransi kemenangan kandidat-kandidat kiri, karena tiap hari semakin kecil kemungkinan mereka memodifikasi tatanan yang berkuasa.

C.3 Kecurangan Pemilu
1.76. Dalam beberapa tahun terakhir, bersamaan dengan krisis kredibilitas neoliberal, beberapa kandidat sayap kanan mulai intensif melancarkan kecurangan dan manipulasi terhadap pemilihan, terutama dengan skenario-skenario tertutup dan canggih. Ini dipraktekkan dalam pemilu di Meksiko, Bolivia, Honduras, dan terakhir di Indonesia (2009).
1.77. Dalam aturan main mereka, hukum dibuat sekedar untuk merasionalisasi segala bentuk irasionalitas dalam permainan politik. Hukum dan aturan main menjadi barang dagangan yang dapat diperjual-belikan oleh mereka yang mempunyai kekuatan modal.
1.78. keterlibatan teknisi dan ahli IT yang terkadang bekerja berdasarkan siapa yang membayar mereka. Mereka sangat mudah dibayar untuk memanipulasi hasil pemilu elektronik pemilu dengan sangat halus.
1.79. Dalam berbagai kasus, seperti Meksiko dan Indonesia, KPU telah bertindak sangat tidak netral dan begitu dikendalikan oleh kekuatan politik yang disupport oligharki dan kekuatan internasional. Mereka menjadi tidak terkontrol oleh gerakan demokrasi dan sosial, karena gerakan demokrasi dan sosial pun menawarkan golput kepada massa.

Ketidaan/kekosongan Alternatif

1.80. Selama 30 tahun terakhir, semenjak dilembagakannya sistim neoliberalisme, ide-ide dan filosofi neoliberal telah dikembang-biakkan, terutama mengenai pembatasan peran politik negara dan ide pasar bebas. Mereka meneriakkan bahwa periode perjuangan ideologi telah berakhir, dan kutub liberal tampil sebagai pemenang.
1.81. Bersamaan dengan itu, ide-ide sosialisme abad 20 ataupun bentuk-bentuk nasionalisme progressif telah digusur dari panggung politik global. Sementara gerakan progressive mengalami krisis, baik secara organic maupun politik, bentuk-bentuk demokrasi liberal semakin memapankan diri.
1.82. Apa yang dipertarukan dalam proses demokrasi liberal, bukan soal persoalan mendasar politik dan ekonomi untuk masyarakat, melainkan bagaimana cara mengelolah, melembagakan, dan mempertahankan rejim sosial-politik yang sudah ada.
1.83. Dalam demokrasi liberal, kehidupan politik, partisipasi, dan keterwakilan telah dikesampingkan. Politik yang ditampilkan adalah politik yang terlepas dari perdebatan-perdebatan soal konsep dan gagasan ideal masyarakat, kemudian digantikan dengan transaksi-transaksi politik ala pasar. Seorang yang menggunakan hak pilih pada pemilu untuk memilih sebuah partai, itu sama persis dengan orang yang memilih jenis warna ek krim yang disukai. Jadi, perbedaannya hanya di warna luarnya, tetapi isinya tetap sama.

Pengaruh Perkembangan Budaya, Informasi, Dan Media Terhadap Massa Rakyat

Budaya:
1.84. Perkembangan neoliberalisme, menurut Franz Hinkelammert, telah mendatangkan apa yang disebut “badai globalisasi”, sebuah kekuatan dekstruktif yang bukan saja menghancurkan kehidupan ekonomi, politik-demokrasi, dan ekologi, tetapi juga penghancuran kebudayaan massa.
1.85. Bersamaan dengan penerapan sistem neoliberalisme adalah penyebaran filosofi liberalisme, yaitu sebuah prinsip hidup yang mengutamakan kebebasan pribadi, individualisme, konsumerisme, dan erotisme. Sebuah kebebasan yang menolak segala bentuk intervensi negara terhadap setiap inisiatif swasta, konsep-konsep kepemilikan sosial, bentuk-bentuk solidaritas, dan hal-hal lain yang dianggap mengganggu kebebasan pasar.
1.86. Konsumerisme misalnya, seperti dikatakan Thomas Moulian, sangat berperan dalam menghancurkan budaya solidaritas, dan memaksakan setiap individu untuk memaksakan pencarian sumber-sumber keuangan untuk menopang belanja konsumsi massa. Orang dipaksa dengan biaya hidup dan konsumsi yang tinggi, entah dengan utang ataupun menjual diri, sehingga berdampak pada kerusakan moral dan nilai kolektivitas.
1.87. Dengan pengaruh filosofi liberalisme ini, dimana orang begitu tega menggelar pesta pora di tengah lautan kemiskinan—bahkan kadang2 dilakukan oleh aktivis pergerakan, persoalan kemikisninan tidak lagi dipandang sebagai persoalan masyarakat dan negara, tetapi dilemparkan sebagai persoalan atau kelemahan individu. Dengan begitu, pemerintah dan segelintir orang kaya merasa tidak dipermalukan oleh gelimpangan kemiskinan di sekitar mereka.

Media dan Infomasi:
1.88. Menurut Noam Chomsky, keberhasilan demokrasi borjuis tidak lepas dari jasa media untuk menyakinkan masyarakat, bahwa gambaran dunia saat ini merupakan bentuk terbaik dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik –There is Not Alternative (TINA).
1.89. Media menjadi semacam “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). ). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.
1.90. Dengan kepemilikan media di tangan segelintir tangan, yang juga merupakan turunan oligopoly media internasional, peran mereka semakin dominan dalam mengontrol akses informasi terhadap masyarakat. Dalam waktu singkat, pasar media global telah didominasi oleh tujuh perusahaan multinasional: Disney, AOL-Time Warner, Sony, News Corporation, Viacom, Vivendi, dan Bertelsmann.
1.91. Ini, pada akhirnya, mempengaruhi media dalam menggunakan narasumber untuk menjelaskan atau memposisikan sebuah persoalan krusial, seperti isu politik, ekonomi, dan persoalan sosial. Mereka seringkali menggunakan narasumber dari pejabat pemerintah, pengamat ‘independen’, dan think-thank kelas penguasa.
1.92. Propoganda bisa efektif, kata Michael Parenti, sangat dipengaruhi oleh, antara lain, kemampuan membungkus kepalsuan. Pengaturan nada bicara, pakaian, pemaparan berita, pilihan fhoto, efek visual dapat menjadi unsur pendukung untuk mengontrol dan mengendalikan emosi pemirsa agar menyakini kebenaran informasi media.
1.93. “Netral dan bebas dari kepentingan politik”, ini merupakan bentuk penyelundupan terhadap nilai-nilai yang kondusif bagi kepentingan bisnis dan kelompok politik yang dekat dengan mereka. Ini sekaligus menjadi mekanisme penyaringan (filter) terhadap isu-isu kontroversial yang perlu diangkat dan mana yang dikesampingkan.
1.94. Seperti dikatakan James Madison, “ Pemerintahan populer tanpa informas yang populer, atau cara memperolehnya, hanyalah sebuah prolog untuk sebuah “lelucon” atau “tragedy”, bahkan keduanya. Dari pengertian ini, kita coba balikkan, bahwa sebuah pemerintahan gagal dapat menjadikan berhasil, kalau media bisa mengubur informasi mengenai kegagalannya dan hanya menampakkan prestasi yang dibuat-buat.
1.95. Melalui kotak yang bernama televisi, ajaran-ajaran liberalisme disebar-luaskan kepada massa rakyat, berupa pola hidup, filosofi liberalisme, individualisme, sisnisme, dsb, yang, pada prakteknya, benar-benar efektif mendepolitisasi massa rakyat.
1.96. Dalam menjelaskan kemiskinan, TV juga sangat lihai membuat kemasan acara, seperti tolong, bedah rumah, rejeki nomplok, dsb, sebagai alat untuk menyakinkan massa, bahwa soal rejeki dan kekayaan adalah persoalan keberuntungan; dia akan datang sendiri kepada kita, tanpa terduga sebelumnya. Ini juga menciptakan sinisme bagi massa, dan memunculkan pertanyaan; kenapa harus melakukan demonstrasi?
1.97. Melalui kotak TV, jutaan pemuda-pemuda kita menyimpan masa depan mereka; berlomba-lomba menjadi selebriti, berlomba-lomba menjadi anak band, berlomba-lomba mencari popularitas, memikirkan hal-hal jangka pendek. Media dan TV menjadi pengatur gaya hidup dan pandangan politik jutaan kaum muda.
1.98. Sementara kesadaran rakyat dihancurkan oleh budaya liberal, kaum intelektual melakukan “penyembahan” secara berlebihan terhadap pasar dan rejim-rejim neoliberal. Dengan begitu, rakyat tidak memiliki pertahanan ideologis dalam melawan dominasi ini.
1.99. Kontrol segelintir elit terhadap media merupakan hasil perampasan elit-elit komersil terhadap sarana komunikasi. Akibatnya, mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap sarana-sarana berkomunikasi yang massal, seperti TV, Radio, Koran, dsb. Lebih jauh lagi, klas berkuasa telah memperkuat persenjataan ideologisnya, sementara mayoritas kaum terhisap kehilangan saran untuk menyuarakan kepentingannya. Ini adalah makna penting media alternatif, yakni sebagai alat pertahanan ideologis rakyat kita menghadapi ideologi hegemonik klas berkuasa.
1.100. Di Uruguay, lagi-lagi kita bercermin ke sana, gerakan progressif berhasil menghidupkan mesin-mesin propaganda, khususnya media massa, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun melawan neoliberalisme. FA memiliki sebuah koran berwarna bernama “La Juventud” (Pemuda). La Juventud diprakarsai oleh Gerakan 26 Maret (M 26), sebuah partai marxist di dalam Frente Amplio, dengan mengintegrasikan laporan sosial dan politik dengan fitur-fitur populer, seperti cuaca, sepak bola, hiburan, dan acara TV. Mereka sangat menonjolkan sepak bola, karena olahraga ini telah menjadi kegemaran rakyat di seluruh negeri.
1.101. MLM, salah satu sayap dalam FA, juga berhasil mengorganisasikan radio alternative, yaitu CX 44 Radio Panamericana. Meskipun berhadapan dengan lisensi dan pembredelan pemerintah, radio ini tetap eksis sebagai jaringan radio bawah tanah (clandestein). Selain itu, FA juga masih memiliki jaringan radio lain, Radio 36 Centenary, yang aktif membuat diskusi dan sajian-sajian acara populer di telinga rakyat. Dengan kehadiran media-media alternative ini, sedikit 3,1 juta orang rutin menerima aksi berita dari kalangan pergerakan.
1.102. Di El Salvador, gelora perjuangan media alternative juga cukup menggelora, dan punya andil dalam menemani perjuangan gerilya. Diario Co-Latina, sebuah majalah populer, sudah berkali-kali mengalami pembakaran, pemboman, dan akhirnya diambil alih pihak militer. Majalah ini sangat digemari pembaca, terutama karena bahasa-bahasa populer dan sajian yang menarik bagi kalangan bawah.
1.103. Media lainnya, Radio Venceremos ( "Kami akan menang"), adalah radio yang sangat berkontribusi dalam perjuangan Sandinista. Radio ini bukan hanya menjadi penghubung bagi gerakan gerilya, tetapi juga bagi dunia internasional. Karena radio ini dapat disiarkan dalam lima bahasa.
1.104. Saat ini, media-media alternatif tumbuh subur di berbagai kawasan perlawanan di Amerika Latin, seperti radio komunitas, surat kabar, jaringan penjual DVD perjuangan sosial, TV, dan lain sebagainya. Di Chili, pada bulan Juli 2009, telah berdiri jaringan media rakyat, yang mengaitkan berbagai media alternatif, seperti surat kabar, situs web, radio, dan Televisi.

Krisis Ekonomi Global dan Politik Indonesia

1.1. Sejarah Penguasaan Kapital di Indonesia

1.1.1. Pada jaman kolonial, modal asing, terutama Belanda, menduduki tempat utama dalam perekonomian. Ia masuk terutama dalm sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang komoditi ekspor, dan juga bidang industry pertambangan, serta pengolahan bahan baku awal. Ini bisa dilihat dari gambaran pendapatan nasional saat itu (pra-perang dunia ke II); 65% pendapatan nasional jatuh ke tangan orang-orang Belanda (pengusaha dan administrasi Belanda), sedangkan pribumi hanya mendapat 15%, sisanya adalah China dan Arab (20%).
1.1.2. Seperti dijelaskan Darsono, salah seorang pemimpin PKI, bahwa borjuasi Indonesia tidak punya peluan untuk tumbuh menjadi borjuis besar, karena tempat mereka sudah dikuasai oleh capital asing, terutama Belanda, eropa, China dan Arab. Jadi, dari pendapata Darsono, Indonesia saat itu hanya lapisan luas borjuis kecil (produsen kecil atau pemilik alat produksi kecil), sedangkan sebagian besar kaum priayi Indonesia telah bertransformasi menjadi administrator kolonial. Ini dibenarkan oleh tesis Robinson, bahwa salah satu factor penyebab ketidakmunculan borjuis nasional adalah kegagalan priayi Jawa dalam mentransformasikan hak kepemilikan tradisional terhadap tanah, tenaga kerja, dan posisi sosial ke dalam bentuk kepemilikan kapitalis.
1.1.3. Hasil produksi pada tahun 1930-an menggambarkan komposisi capital saat itu; 40% hasil produksi berasal dari mekanisasi berskala besar, 35% di Industri kecil, dan 25% dari industri kerajinan tangan. Industri berskala besar dikontrol oleh Asing (Belanda dan eropa lainnya), sedangkan industri kecil oleh pengusaha China, dan industri kerajinan merupakan perebutan China, Arab, dan pribumi.
1.1.4. Setelah itu, dominasi capital asing masih sangat kuat dalam struktur ekonomi paska kemerdekaan, kecuali penambahan lahirnya kapitalis pribumi yang dibesarkan oleh partai politik dan klik kekuasaan (nasional dan lokal).
1.1.5. Semakin menguatnya sentimen anti-kolonial dan imperialisme, terutama semenjak proklamasi kemerdekaan hingga 1950-an, memang berhasil mengusir sebagian capital asing dari eropa, khususnya Belanda, Inggris, dan AS. Namun, capital China tetap dominan dan mengambil alih perkembangan ekonomi nasional karena, secara histories, modal orang China sudah terintegrasi dengan kaum pribumi.
1.1.6. Dalam “Indonesia; Rise of Capital”, Robinson menjelaskan struktur kapital paska perjuangan kemerdekaan sebagai berikut; (1) menjadi jelas bahwa capital yang dimiliki oleh orang China di Indonesia menjadi lebih integral dalam struktur kapitalisme Indonesia, dan menjadi elemen penting dalam investasi domestik. (2) kapitalis pribumi terbukti tidak punya kemampuan untuk memperluas bentuk perdagangan kecil-kecil dan produksi komodi berskala kecil. (3) Sumber capital swasta domestic, termasuk China, tidak cukup kuat menggantikan asing, khususnya industry berskala besar dan perusahaan pertambangan.
1.1.7. Menghadapi capital asing, pemerintah saat itu memutuskan untuk mengambil peran utama dalam pembiayaan, kepemilikan, dan manajemen sektor-sektor industri utama, seperti pertambangan, transportasi, perbankan, produksi baja, dsb. Ini dilakukan melalui gerakan nasionalisasi dan pengubahan kontrak karya.
1.1.8. Gerakan pengambil-alihan perusahaan milik asing, terutama 1957/58, sangat melemahkan capital asing dan mentransformasikan struktur ekonomi di bawah kendali Negara. Pada saat itu, Negara telah mengambil alih 90% produksi perkebunan, 60% perdagangan luar negeri, dan sebanyak 246 pabrik dan perusahaan tambang (plus sejumlah bank, pelabuhan, dan perusahaan jasa).
1.1.9. Dalam perpaduan demokrasi terpimpin dan menguatnya peran Negara, telah lahir
kapitalis birokrat (kabir) juga tumbuh pesat karena mereka sanggup berpura-pura mendukung politik progressive pemerintah. Karena mereka pintar menggunakan baju revolusioner dan mengadopsi berbagai slogan-slogan Bung Karno, mereka berhasil memperkuat basis penguasaan ekonominya dan terus menggorogoti demokrasi terpimpin. Mereka terutama sekali berasal dari PNI dan Masyumi.
1.1.10. Pertumbuhan capital pribumi sangat tak terlepas dari pengaruh orang China. Haji Tamin, misalnya, ketika membuka kantor usahanya di Bukit-tinggi juga mencoba meminta bantuan seorang china di Singapura. Karena hal itu, perkembangan kapitalis China di dalam negeri juga makin pesat, apalagi dengan pembuatan poros Jakarta-Peking saat itu.
1.1.11. Perkembangan modal China, yang dalam beberapa aspek memukul kapitalis asing dari Eropa dan juga sebagian kapitalis pribumi, mendorong aliansi diantara mereka (PSI-Masyumi-barat) untuk menyerang politik Indonesia yang bergandengan dengan China. Berkali-kali isu rasialisme dihembuskan untuk mendiskriminasi orang China dan kepentingan bisnisnya. Selain rasialisme, juga lahir sejumlah kebijakan untuk membatasi pengaruh bisnis China, seperti program Banteng dan PP 10 tahun 1959. Dalam PP 10 tahun 1959, misalnya, dikatakan bahwa orang asing dilarang melakukan bisnis ritel di luar perkotaan, khususnya pedesaan, dan usaha mereka harus dialihkan kepada kaum pribumi. Karena dari 86.690 usaha ritel adalah China, maka PP ini segera mengundang kerusuhan dan gelombang pengusiran kaum China (kasus Cibadak).
1.1.12. Kontra revolusi 1965 bukan saja mengakhiri proses pembangunan ekonomi nasional, yang berpangkal pada kapitalis dalam negeri dan perencanaan Negara, tetapi juga mengusir modal China pro-RRC. Orde baru, melalui Ali Murtopo, kemudian merangkul China sayap kanan (Katolik dan Koumintang), seperti Harry Tjan, Liem Bian Kie, Liem Bian Koen, dan Panglaykim.
1.1.13. Pada awal kekuasaan orde baru, sempat muncul sentimen anti-modal Jepang, khususnya oleh faksi-faksi elit dalam kekuasaan. Namun, praktis sejak 1967 hingga saat ini, kekuatan modal dominan adalah AS, Eropa, dan Jepang.
1.1.14. Naiknya orde baru ke puncak kekuasaan membawa perubahan penting bagi komposisi capital; restorasi capital asing, khususnya Eropa, AS, dan Jepang, dan perkembangan lebih lanjut kapitalis-birokrat.

1.2. Dunia Multipolar dan Kutub Politik Indonesia
1.2.1. Terbentuknya dunia multi-polar, menurut saya, sangat berkontribusi pada pembentukan polarisme (kutub) politik di Indonesia, terutama dalam pengelompokan dan kepentingan kapitalis nasional.
1.2.2. Jika sebelumnya, kita mengetahui bahwa kapitalis nasional sangat bergantung kepada Negara sebagai benteng pertahanan, ketika Negara mengalami pelucutan oleh neoliberalisme, maka kapitalis nasional termasuk sektor yang dianak-tirikan.
1.2.3. Ketika globalisasi yang dikomandoi AS mengalami penurunan, terutama akibat krisis financial, maka sebagian kapitalis nasional mulai menggelorakan kembali pentingnya Negara mengintervensi kehidupan ekonomi. Sebagian kapitalis nasional menuding liberalisasi ugal-ugalan telah menjadi penyebab memburuknya situasi perekonomian.
1.2.4. Pendukung globalisasi neoliberal di Indonesia, sedikit berbeda dengan sebelumnya, adalah sekelompok teknokrat dan sejumlah politisi professional dari partai sayap kanan, terutama Partai Demokrat.
1.2.5. Di luar itu, muncul barisan elit politik yang telah merasa sangat dirugikan oleh proses neoliberalisme, terutama barisan elit politik yang selama ini menerima dana dan dukungan dari kapitalis nasional (Yang kebetulan, juga menderita oleh proses neoliberalisme). Bermunculan sejumlah partai dan kekuatan politik yang bergaris anti-neoliberalisme, meskipun lebih banyak terungkap dalam retorika semata, namun mereka punya arti penting dalam merubah korelasi kekuatan yang ada.
1.2.6. Dalam banyak kasus, kapitalis nasional telah dirugikan/dikalahkan oleh kapitalis internasional akibat keputusan pemerintah membuka pasar internal (liberalisasi), menghilangkan proteksionisme (menghapus cukai dan bea masuk impor), dan kebijakan de-nasionalisasi aktif (UU penanaman modal, dsb).
1.2.7. Selama 10 tahun terakhir, kapitalis nasional semakin kehilangan keyakinan akan masa depan mereka di bawah neoliberalisme, sebuah system yang ternyata turut menindas mereka dan hanya membiarkan modal besar dan trans-nasional yang bisa hidup. Namun demikian, kapitalis nasional juga sudah kehilangan senjata mereka yang terpenting, yaitu Negara. Sehingga, tidak ada pilihan lain, bahwa kapitalis nasional ini harus memanfaatkan sentimen anti-neoliberal untuk perlahan-lahan mengusir modal asing.
1.2.8. Secara umum, pengelompokan utama elit atau kapitalis nasional di Indonesia adalah sebagai berikut; (1) Kelompok elit dan kapitalis nasional yang diuntungkan oleh neoliberalisme, merasa puas sebagai agen perantara, dan merasa diuntungkan berada satu lintasan dengan kapitalisme global. (2) kelompok elit dan kapitalis nasional yang menyadari bahwa eksistensinya semakin bergantung kepada intervensi dan proteksi negara, sehingga mereka harus bersikap berlawan terhadap kapitalisme neoliberal. (3) kelompok oportunis atau pragmatis yang mencoba mengambil keuntungan di antara dua kelompok di atas, asalkan mereka tetap bisa menempatkan orang-orang di kekuasaan.
1.2.9. Krisis kapitalisme global telah menyebabkan penurunan posisi hegemonik AS dan kemunculan episentrum ekonomi baru; China dan Asia Timur. Bagi banyak kapitalis nasional, kemunculan China merupakan “tanah pengharapan” bagi kebangkitan mereka; bersama-sama melawan modal barat-eropa. Beberapa kapitalis nasional yang telah terkalahkan oleh modal AS-eropa, mencoba mencari bantuan kepada China, baik suntikan modal maupun bantuan proyek, dalam kerangka bertahan menghadapi modal AS. Sebut saja Aburizal Bakrie, pengusaha nasional yang baru saja bertengkar dengan administrator neolib, Sri Mulyani dan Budiono, mulai meminta tolong kepada China untuk menyelamatkan kerajaan bisnisnya.

1.3. Perimbangan Kekuatan
1.3.1. Korelasi kekuatan di Indonesia sangat ditentukan oleh posisi menang, kalah, dan menghilangnya tiga sektor; (1) imperialisme dan kekuatan politik pendukungnya di dalam negeri, (2) kapitalis nasional dan borjuis kecil, dan (3) gerakan rakyat anti-imperialis. Dalam hal ini, korelasi kekuatan pada level atas (penguasa) dapat dilihat dari kemampuan mengambil dan menjalankan keputusan, kemampuan mengorganisir ide-ide dominan dalam kehidupan politik yang hegemonic dan menundukkan kelas-kelas sosial lainnya.
1.3.2. Rejim ini sedang memasuki masa krisis korelasi kekuatan. Rejim berkuasa tidak lagi efektif mengontrol kekuasaannya, dan sering terganjal oleh gesekan-gesekan politik di tingkat elit maupun massa. SBY begitu mudah terseret dalam kekhawatiran terhadap berbagai tingkah-laku oposisi, termasuk dalam persoalan kerbau, misalnya.
1.3.3. Pemerintahan SBY-Budiono adalah representasi paling jelas dari kepentingan imperialisme di dalam negeri. Dalam beberapa bulan terakhir, rejim ini terus mengalami krisis, terutama isu korupsi yang sangat sensitive terus menggerogoti wibawa politik rejim ini.
1.3.4. Sebetulnya, rejim ini membangun tatanan kekuasaannya dibalik “gelembung” pencitraan, dimana media massa dan penaklukan ideology menjadi senjata utamanya. Seadainya ada propaganda massif, kontinyu, meluas, dan isunya mengena telak pada kegagalan rejin ini, maka rejim akan menemukan ajalnya dalam waktu singkat.
1.3.5. Sebagian kapitalis nasional sudah mengekspresikan perlawanan terbuka terhadap proyek neoliberalisme, terutama pengusaha ritel, tekstil/garmen, makanan, dan elektronik. Sementara sebagian besar kapitalis nasional lainnya masih bersifat ambigu terhadap pilihan di depannya. Kadangkala mereka memprotes liberalisasi dan menyatakan keberatan terhadap praktik neoliberal, namun seringkali mereka juga takluk di hadapan rejim neoliberal.
1.3.6. Meski begitu, ada gerak maju dari berbagai koalisi-koalisi politik yang digalang oleh para elit penentang hegemoni neoliberal, bahwa koalisi itu tidak lagi terbatas dalam ruang pemilu, tetapi juga sudah terbangun dalam merespon krisis rejim (Gerakan Indonesia Bersih, Nasional Demokrat, dll).
1.3.7. Pada aspek lain, gerakan rakyat belum memperlihatkan daya tarik dan kemampuan mobilisasi politiknya, khususnya untuk menarik sektor-sektor luas korban neoliberalisme. Gerakan rakyat mengidap penyakit “fragmentatisme” akut dan sangat sulit untuk disembuhkan. Sebagian besar gerakan kiri revolusioner juga terjebak dalam “petualangan” kekiri-kirian yang sloganik dan bombastis.
1.3.8. Massa rakyat secara keseluruhan juga mengalami fragmentasi luar biasa. Bentuk-bentuk struktur dan hubungan sosial kekeluargaan telah dihancurkan, kemudian digantikan dengan hubungan pasar yang sifatnya individualis. Secara ideology, mayoritas massa rakyat juga tertaklukkan dan tak punya kemampuan untuk mengenali keadaan ketertindasannya.
1.3.9. Menurut Alvaro Garcia Linera, pemimpin MAS dan sekaligus Wapres Bolivia, ketidakseimbangan atau krisis revolusioner ditandai oleh beberapa hal; (1) konfrontasi dari dua proyek nasional dalam satu Negara, dua perspektif dalam satu Negara, kapasitas untuk mobilisasi sosial, tarik-menarik antara kekuatan sosial; (2) perpecahan atau konfrontasi dalam institusi atau kelembagaan Negara—mungkin di parlemen, eksekutif, maupun bidang sosial. Berbagai kekuatan politik membangun ambisi berebut kekuasaan, termasuk blok sosial alternatif. (3) kelumpuhan dari eselon atau apparatus Negara dan ketidakmampun mereka untuk mengatasi kelumpuhan ini.
1.3.10. Dalam situasi Indonesia, saat ini, perspektif Linera sedikit bertemu dengan fakta, bahwa saat ini di Indonesia terdapat pertentangan antara dua proyek nasional, terjadi kekacauan dalam institusi Negara (KPK versus Polri, dll), dan lemahnya wibawa apparatus Negara dalam menjalankan policy-nya.

1.4. Pertentangan Dua Proyek Nasional dalam Satu Negara
1.4.1. Kita sering mendiskusikan soal krisis Negara neoliberal, dan seringkali mengacu pada kenyataan bahwa massa memberikan perlawanan, termasuk perlawanan spontan akibat perampasan sumber ekonomi dan sumber daya mereka oleh neoliberalisme. Menurut saya, perlawanan semacam itu belum cukup, apalagi mendorong krisis dalam Negara neoliberal.
1.4.2. Krisis neoliberal akan muncul, seperti dikatakan di bagian atas, kalau terjadi perubahan dalam korelasi kekuatan, dimana Negara neoliberal mulai menemukan keterbatasan dalam menegakkan aparatusnya dan kesulitan dalam mengorganisir ide-ide dominan untuk mengontrol masyarakat.
1.4.3. Untuk menjelaskan itu, paling mudah dengan melihat kemunculan dua proyek nasional dalam sebuah Negara. Di Indonesia saat ini, ada konfrontasi diantara dua proyek nasional, yaitu proyek yang mau melanjutkan neoliberalisme dan mereka yang mau menghentikan neoliberalisme dan menggantikannya. Konflik ini, bagaimanapun, akan membentuk bifurcation (percabangan) dan sangat potensial mengarah pada ketidakstabilan (perpecahan) Negara borjuis.
1.4.4. Pihak yang mau melanjutkan proyek neoliberalisme, sampai saat ini terus mencari dalil-dalil untuk memperkuat ide-ide dominan mereka, misalnya soal bailout Bank yang macet, mendorong perdagangan bebas, kebebasan berinvestasi, dan orientasi ekspor dalam industry dan bahan baku, dsb. Ide-ide ini mulai mendapat penentangan kuat, seperti kritik keras terhadap bailout yang melahirkan korupsi, kebijakan orientasi ekspor bahan baku sebagai perampokan sumber daya, dan berbagai kritik terhadap model neoliberal pada umumnya. Para penentang ini tidak sekedar berhenti pada kritik, melainkan mereka mulai mengorganisir proyek tandingan, seperti prinsip ekonomi berdikari, ekonomi kerakyatan, nasionalisme ekonomi, ekonomi syariah, dan ekonomi perencanaan (regulasionis).
1.4.5. Di kalangan ekonom, sejak kampanye pemilu lalu, mereka telah terpolarisasi secara tajam menjadi dua kubu; ekonom pro-neliberal atau arus utama (mainstream) versus ekonom anti-neoliberal (kerakyatan, nasionalisme ekonomi, dsb). Deklarasi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dengan jelas sekali mengekspresikan perkumpulan kubu ekonom anti-neoliberal, sebuah perkumpulan ekonom yang berada di bawah payung proyek nasional anti-neoliberal.
1.4.6. Fragmentasi partai politik, sejauh ini, memang jarang sekali terjadi karena orientasi ideologis dan strategis, tetapi karena persoalan bagi-bagi (sharing) kekuasaan. Namun, tak bisa dipungkiri, partai-partai penentang SBY-Budiono mulai meminjam ide-ide proyek anti-neoliberal untuk amunisi politiknya. Ini berarti, bahwa hampir semua kekuatan politik sudah menyadari dua proyek nasional bertentangan ini, dan ini juga sangat tercermin pada saat kampanye pilpres 2009 lalu.
1.4.7. Yang menarik dari kelahiran dua proyek nasional ini, tentu saja, adalah kemunculan titik percabangan (bifurcation) dari kekuatan sosial; pro neoliberal dan anti-neoliberal. Dalam praktik politik, percabangan ini sangat nampak dalam pengelompokan politik elit, khususnya di level politik nasional, kemudian mempolarisasikan juga kaum intelektual, ormas, dsb.
1.4.8. Ancaman keluarnya Golkar dari “mitra koalisi” koalisi SBY-Budiono, tidak bisa dipandang sekedar pertikaian elit biasa atau kepentingan pribadi ketua umum Golkar, Aburizal Bakrie (Ical), tetapi harus dipandang sebagai konsekuensi objektif dari munculnya percabangan dari proyek nasional ini. Harus dilihat, misalnya, bahwa proyek bisnis Ical akan bangkruk kalau nasionalisme atau batas Negara juga dihilangkan, sehingga dia harus bersikap menentang neoliberalisme.
1.4.9. Demikian pula dengan kemunculan dan sikap oposisional sejumlah elit politik terhadap SBY-Budiono, dengan berbagai spectrum (nasionalis, konservatif, progressive), merupakan konsekuensi lansung dari percabangan dua proyek nasional itu; Neoliberalisme dan anti-neoliberal.
1.4.10. Terhadap grup anti-neoliberal, karena spectrum mereka sangat luas---nasionalis, religious nasionalis, konservatif, fundamentalis, dan progressif, namun titik temunya adalah soal nasionalisme dan kedaulatan nasional. Nasionalisme atau kedaulatan nasional tidak lagi menjadi barang tabu, seperti dituding kaum neoliberal, tetapi kini menjadi retorika paling ideal untuk menarik sektor luas masyarakat. Semakin banyak elit, partai, dan ormas yang membangun retorika nasionalisme dan kemandirian bangsa.
1.4.11. Hal ini, menurut kita, merupakan potensi kedepan yang harus dimanfaatkan dan diperbesar untuk merubah perimbangan kekuatan; mengisolasi musuh pokok (neoliberal), merangkul sekutu potensial (nasionalis/anti-neolib), dan menetralisir elemen-elemen peragu.

Pancasila, dari Trauma ke Persatuan Anti Neolib

Minggu, 04 April 2010 11.39 Diposting oleh poletariati 0 komentar
"Lahirnya Pantjasila, Membangun Dunia Kembali, dan Penfjelasan Manipol/Usdek adalah merupakan rangkaian jang sangkut bersangkut untuk harus kita ketahui dalam alam sekarang ini jaitu untuk menudju masjarakat Sosialis Indonesia."

(Kuitipan dari Buku "Seri Tanja-Djawab Buku2 Manipol: 260 Tanja Djawab Lahirnja Pantjasila, Membangun Dunia Kembali (to build the world new), Pendjelasan Manipol-Usdek". Penerbit Miswar Djakarta, tjetakan pertama, 1965" hal. 7)

Banyak kamerad di kalangan kaum gerakan dan intelektual yang cukup kaget saat mengetahui Pancasila coba diangkat Partai Rakyat Demokratik (PRD) dari "lumpur kenistaan" ke tempat yang lebih bersih, terang dan tinggi. Sebagiannya malah keblinger, menuduh PRD sudah bergeser ke sebelah kanan, PRD sudah ditunggangi intelejen negara, PRD akan menjadi organisasi reaksioner, PRD akan melakukan penataran P4 seperti layaknya di zaman kegelapan dahulu, dan lain-lain dan sebagainya. Namun, semua itu justru menyiratkan pendeknya ingatan kolektif rakyat kita tentang Pancasila. Sangat disayangkan hanya Pancasila yang "kanan", Pancasila yang "pembunuh", dan Pancasila yang "bengis" a'la Jenderal Suharto yang masih diingat, bukan Pancasila yang sesuai keinginan sang penggali Ir. Sukarno: Pancasila yang kiri.

Stigma kanan Pancasila diperoleh dari hasil pendistorsian panjang Orde Baru. Karena banyak aktivis dan intelektual oposan kerap menjadi "korban" represi/intimidasi dari kelompok-kelompok yang mengklaim membela Pancasila, maka adalah wajar jika rasa trauma terhadap segala yang berbau Pancasila atau asas tunggal masih agak lekat. Mimpi buruk selama Orde Baru ini belum ditinggal, masih dibawa-bawa sehingga menjadi beban psikologis (semacam mental blocking) sampai sekarang.

Bukan salah kaum muda yang lahir di zaman Orde Baru jika mereka tak mampu mengingat Pancasila-nya Ir. Sukarno. Yang salah tetap adalah Jenderal Suharto yang telah mendistorsi esensi Pancasila selama 32 tahun (1965-1998). Selama itu pula Pancasila tampil dalam raut wajah yang bengis dan kejam. Namun, seperti kita menghadapi penyakit-penyakit mental umumnya, trauma yang diderita akibat Pancasila Orde Baru tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihakimi, yang seharusnya dilakukan adalah mengobatinya (healing).

Jika diurai, sebenarnya trauma terhadap Pancasila berakar pada dua hal sbb:

1. Devide et impera antara Pancasila dengan Kaum Kiri

Pada pertengahan tahun 1965-1967, selagi Jenderal Suharto tengah melakukan "kudeta merangkak" (creeping coup, pen: baca buku terbaru John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal), ia menyempatkan menetapkan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966). Narasi tunggal yang hendak didesainnya saat itu adalah seakan-akan Pancasila sebagai dasar negara berusaha diserang oleh kaum kiri, dan ia adalah satu-satunya pahlawan penyelamat Pancasila. Dengan dalih penyelamatan tersebutlah, Jenderal Suharto seperti mendapat restu untuk membunuh secara massal ratusan ribu sampai jutaan kaum kiri di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Kesuksesan adu domba tersebut diteruskan untuk selama masa 32 tahun berikutnya, di mana Pancasila selalu dijadikan momok untuk membungkam sisa-sisa kaum kiri (yang selamat dari pembunuhan massal atau bebas dari penjara/kamp kerja paksa) ataupun kaum kiri baru yang lahir di era 1980an (seperti PRD). Maka dari itu, kita boleh saja untuk ke depannya membulatkan tekad, mengusulkan untuk pergantian nama tanggal 1 Oktober dari Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Kesaktian Orde Baru.

2. Pembohongan Asal Usul Pancasila

Sebuah kebohongan pun jika dipropagandakan ribuan kali dapat bermutasi menjadi sebuah kebenaran publik. Itu adalah teknik dari Menteri Propaganda Nazi Jerman Goebbels yang biasa disebut "Big Lie", yang ternyata dipraktekkan dengan sangat baik oleh Jenderal Suharto di Indonesia selama 32 tahun pemerintahannya. Kebohongan/distorsi terutama dari Jenderal Suharto adalah tentang tanggal lahir dan penggali sejati Pancasila, yang dipropagandakan intensif melalui Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Orde Baru menyebut, bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahir Pancasila dan Mr. Mohammad Yamin adalah penggalinya. Padahal yang sebenarnya adalah Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan Ir. Sukarno adalah penggalinya. Jelas sekali ini adalah upaya de-Sukarnoisasi yang "sistemik". Meski kemudian kebohongan ini sempat dibantah oleh testamen Dr. Mohammad Hatta pada tahun 1976 , Orde Baru tetap tidak bergeming hingga Reformasi menggulingkannya. Baru setelah itu penataran P-4 dibubarkan, PSPB dicabut, dsb.

Dapat dirangkai dari kedua akar di atas, bahwa trauma terhadap Pancasila sejatinya disebabkan oleh mega proyek de-Sukarnoisasi Orde Baru. Taktik Orde Baru ini pun bukan tanpa alasan yang strategis, mengingat betapa kuatnya persatuan antara kaum kiri bersama Ir. Sukarno menjelang 1965. Pada masa itu kaum kiri adalah pendukung sejati Ir. Sukarno, karenanya untuk melumpuhkan politik Ir. Sukarno, kaum kiri harus dipisahkan darinya dan dihabisi terdahulu. Barulah Ir. Sukarno menjadi lemah dan mudah digulingkan, setelah terlebih dahulu diisolasi dari rakyat yang menjadi energi perjuangannya sejak muda.

Akhirnya sejarah mencatat, bahwa Pancasila yang awalnya dilahirkan Ir. Sukarno untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, berdistorsi menjadi alat yang digunakan Jenderal Suharto untuk tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pancasila untuk Persatuan Anti Neoliberal

"Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal akan menjadi tinju untuk menunju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!"

(Cuplikan pidato Soemarsono, pimpinan Pemuda Republik Indonesia dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) ilegal pada tanggal 21 September 1945 di tengah RAPAT SAMUDERA yang dihadiri 150 ribu massa Marhaen di Stadion Tambaksari. Dikutip dari Buku Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, penerbit Hasta Mitra, 2008, hal. 37)

Obat dari trauma rakyat terhadap Pancasila hanyalah pembangkitan kembali ingatan kolektif perjuangan rakyat merebut (kembali) kedaulatan nasional sepanjang periode 1945-1965. Ingatan suram tentang Pancasila yang "reaksioner" di masa Orde Baru harus ditinggalkan, sedangkan ingatan tentang Pancasila yang "revolusioner" di masa Ir. Sukarno harus terus menerus digali kembali.

Pancasila yang akan kita emban bukanlah Pancasila-nya Orde Baru yang mengizinkan ExxonMobil, Freeport, Chevron, Inco, Vico, BHP Billiton, Thiess, ConocoPhilips, GoodYear, Total, Newmont, dll menjajah kekayaan alam bangsa. Pancasila yang kita ingin munculkan kembali adalah yang digunakan oleh Ir. Sukarno sebagai "pembenaran" untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, mengusir modal asing yang menghisap jauh-jauh dari bumi Indonesia (dengan atau tanpa ganti rugi). Jika dikontekstualisasi ke zaman ini mungkin tidak akan jauh berbeda: bukan Pancasila yang mengabdi kepada rezim neoliberalisme, tetapi Pancasila yang mendamba akan kedaulatan nasional sepenuhnya demi keadilan sosial seluas-luasnya menuju sosialisme Indonesia.

Dengan perkataan lain, Pancasila yang akan kita amalkan harus memiliki semangat anti penjajahan, anti penghisapan manusia atas manusia ataupun penghisapan bangsa atas bangsa, semangat pembebasan nasional menuju cita-cita sosialisme Indonesia seperti digariskan oleh Pembukaan UUD 1945.

Dengan berpegangan pada Pembukaan UUD 1945, kita dapat merangkum setiap esensi dari perjuangan anti neoliberal di semua sektor rakyat ke dalam butir-butir Pancasila. Dari sari-sari perjuangan kita di lapangan perburuhan, kaum miskin perkotaan, petani, hingga mahasiswa-pelajar dan kebudayaan dapat kita sempalkan semua ke dalam Pancasila. Dan masing-masing sektor dapat saling mendukung perjuangan di sektor lainnya secara bahu membahu, holobis kuntul baris. Inilah watak sejati Pancasila yang lebih dikenal sejak masa nenek moyang kita dengan istilah gotong royong (1) .

Semisal dalam soal outsourcing dan sistem kerja kontrak, kita akan bilang bahwa konsep labour flexibility milik neoliberal tersebut bertentangan dengan pengamalan Sila ke 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sekaligus juga Sila ke 5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Atau semisal juga tentang maraknya penggusuran kampung kumuh di perkotaan yang mengekspresikan program City Without Slump milik neoliberal, kita juga dapat bilang itu melanggar sila ke 2 dan ke 5. Artinya, sepanjang Menakertrans masih "mengamalkan" sistem outsourcing dan kontrak yang menghisap kaum buruh se-Indonesia; atau sepanjang Gubernur DKI Jakarta masih rajin "mengamalkan" penggusuran terhadap anak jalanan dan perkampungan kumuh, sepanjang itu jualah mereka dengan sengaja telah melanggar Pancasila sila ke 2 dan ke 5 sekaligus. Menjadi sah kemudian jika kita jatuhkan tudingan bahwa Muhaimin Iskandar adalah musuh Pancasila, karena masih membiarkan kaum buruh Indonesia bergelimang dalam perbudakan modern; dan Fauzi Bowo juga adalah musuh Pancasila, karena tidak pernah melindungi hak hidup warga miskin Jakarta. Gampangnya, kedua oknum pejabat tersebut adalah musuh Pancasila, maka mereka adalah musuh bersama kaum buruh dan kaum miskin kota.

Kesimpulan akhir: neoliberal dan semua operatornya adalah musuh Pancasila; dan semua kaum yang dirugikan (oleh neoliberal) wajib bergotong royong bersatu dalam aksi menentangnya.

*****

(1) Pada sidang di mana Ir. Sukarno berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, ia diminta oleh pimpinan sidang untuk memerah Pancasila (5) menjadi Trisila (3) dengan pertimbangan lima sila masih terlalu panjang. Ia menyanggupi dan menyebutkan Trisila, yaitu Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pimpinan sidang masih kurang puas dan menantang Ir. Sukarno apakah dapat memerah tiga sila menjadi satu sila saja. Dan Ir. Sukarno kembali menyanggupi, ia menyebut Gotong Royong (pen)

"Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek."

Joesoef Isak dalam suatu tulisan pengantar di tahun 2008 (sebelum tutup usia)

"Tetapi Republik Indonesia menghadapkan kita dengan satu keadaan jang istimewa. Rakjat adalah beraneka ragam, beraneka adat, beraneka ethnologi. Rakjat yang demikian itu membutuhkan satu "dasar pemersatu". Dasar pemersatu itu adalah Pantjasila."

Ir. Sukarno, dalam suatu sambutan tanggal 17 Agustus 1955